Terlepas dari motif dan agama pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada Minggu 28 Maret 2021 kemarin, ada hal yang harus segera diluruskan berkaitan dengan peristiwa bom bunuh diri, yakni sebuah narasi yang menyebutkan bahwa bom bunuh diri merupakan jihad yang diperintahkan oleh Islam.
Jihad dengan cara meledakkan diri jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai universal. Apalagi jika dikaitkan dengan perintah agama, sudah pasti aksi jahat tersebut sangat bertentangan dengan agama apa pun itu, termasuk Islam. Namun, pemahaman jihad yang keliru itu sudah terlanjur berdedar dan diyakini oleh sebagian umat Islam.
Untuk itulah, artikel ini berusaha mengisi ruang keliru tersebut dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang utuh tentang makna jihad yang begitu luas. Jika pun dalih pelaku bom bunuh diri itu adalah sebagai bentuk balas dendam terhadap kelompok agama tertentu, juga tidak dibenarkan dalam Islam.
Adapun diantara dalilnya sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 190, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang melampui batas.”
Sejauh ini, diantara kesalahan sebagian umat dalam memahami makna jihad adalah mengkerdilkan makna jihad sebatas perang fisik, seperti pembunuhan, bom bunuh diri, dan semacamnya. Padahal, makna jihad tidak selalu soal peperangan fisik.
Beberapa Jenis Jihad dalam Hadis
Hadis adalah sumber hukum dan pedoman kedua umat Islam setelah Alquran. Dalam hadis, banyak dijumpai tentang makna jihad yang lebih luas dan bisa dikerjakan atau raih oleh seorang muslim tanpa harus merakit bom untuk kemudian diledakkan bersama tubuhnya di simbol-simbol keagamaan.
Cara seperti itu tentunya tidak akan dapat menghantarkan pelaku meraih posisi sebagai seorang yang mati syahid, melainkan sebaliknya, masuk neraka lantaran membuat kekacauan, mengoyak keharmonisan dan seterusnya.
Berikut beberapa makna atau jenis jihad sebagaimana digali dalam beberapa hadis nabi.
Pertama, melawan nafsu.
Pelaku bom bunuh diri sejatinya belum sampai tahapan mengamalkan jihad yang sesungguhnya. Sebab, ia tidak bisa melawan nafsunya untuk tidak melakukan aksi konyol tersebut. Padahal, jihad tersebar adalah melawan hawa nafsu.
Berkenaan dengan makna jihad sebagai melawan hawa nafsu, Rasulullah bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ
Artinya: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad [berjuang] melawan dirinya dan hawa nafsunya). Diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
Dalam hadis lain, Nabi bersabda: “Mujahid itu adalah mereka yang berjihad melawan hawa nafsunya.” (HR. Imam Tirmidzi).
Kedua, menuntut ilmu.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ
“Siapa yang mendatangi masjidku (masjid Nabawi), lantas ia mendatanginya hanya untuk niatan baik yaitu untuk belajar atau mengajarkan ilmu di sana, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang mentilik-tilik barang lainnya.” (HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad 2: 418, shahih kata Syaikh Al Albani).
Dalam kesempatan lain, Raslullah bersabda: “Siapa yang keluar menuntut ilmu (karena Allah), maka ia sedang berjuang (jihad) di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi, no. 2647).
Sampai poin kedua, jihad begitu indah dan mudah dilakukan tanpa harus melakukan cara-cara yang konyol. Menuntut ilmu agar tidak terpapar paham radikal juga termasuk jihad akbar.
Ketiga, menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dzalim.
Pemimpin adalah manusia biasa, yang terkadang tidak luput dari kesalahan. Pada konteks seperti ini, mengingatkan kesalahan yang dilakukan oleh seorang pemimpin termasuk bagian dari jihad. Adakala kedzaliman disengaja oleh seorang pemimpin. Nah, pada kondisi seperti ini pula, kata Nabi, kebenaran harus disampaikan kepada pemimpin model ini.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011).
Keempat, menjauhkan diri dari kemaksiatan.
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang orang yang paling afdal, Nabi menjawab: “Laki-laki yang berjihad di jalan Allah” Llalu mereka bertanya lagi, “kemudian siapa lagi”. Nabi menjawab: “Orang mukmin (yang berjalan di bukit) bertakwa kepada Tuhannya dan menyeruh manusia meninggalkan kejahatan.” (HR. Imam Tirmidzi).
Begitu luas makna jihad. Dalam teks-teks hadis pun tidak ditemukan secara rigid tentang anjuran jihad dengan mengangkat senjata. Kalau pun ada, itu konteksnya untuk mempertahankan diri (defensif). Sebab, Islam lebih mengutamakan perdamaian daripada pertumpahan darah.