Dalam dua dekade belakangan ini kita melihat bagaimana transmisi ideologi radikal lebih banyak dilakukan melalui media digital. Indoktrinasi paham radikal dengan mudah disebarkan melalui media sosial. Berbaiat pada organisasi teroris juga bisa dengan mudah dilakukan via komunikasi daring. Bahkan, kecakapan membuat dan menggunakan bom bisa dipelajari dari internet. Inilah zaman ketika radikalisme dan terorisme telah menjadi bagian tidak terpisahkan sekaligus menjadi residu bagi modernisme.
Dunia digital dengan segala anekarupa bentuknya memang telah menjadi arena baru pertarungan wacana keagamaan antara modernisme di satu sisi dan radikalisme di sisi lain. Para pengusung ide radikalisme agama kini tidak hanya menulis buku, menggelar seminar atau halaqah tertutup dengan peserta terbatas seperti terjadi di era tahun 2000an awal. Kini, para komprador radikalisme telah secara terang-terangan mengampanyekan paham keagamaan yang anti-Pancasila dan NKRI melalui kanal-kanal media sosial.
Harus kita akui bahwa di dunia digital, kaum radikal cenderung lebih solid dan terstruktur dalam mensupport gerakan dan ideologi radikal. Contohnya, ketika terjadi aksi teror seperti bom bunuh diri atau penyerangan markas Polisi beberapa waktu lalu, para simpatisan teroris-radikal di medsos segera merapatkan barisan dalam menjalankan tugasnya. Yakni menyusun narasi bahwa peristiwa itu merupakan rekayasa pemerintah untuk mengalihkan isu. Di lapangan, para teroris meledakkan bom atau menyerang dengan senjata api. Di medsos, para teroris virtual menyebarkan isu, desas-desus, dan narasi yang tujuannya mengaburkan persepsi publik dan menggiring opini bahwa peristiwa itu tidak lebih dari sebuah rekayasa.
Merekalah para teroris virtual. Yakni jaringan teroris yang bertugas di jagat maya. Fungsi mereka bukan menjadi bomber atau martir di lapangan. Namun, lebih sebagai cheerleaders yang bersorak-sorai di pinggir lapangan. Tugas mereka ialah mengalihkan perhatian publik sekaligus berupaya mengglorifikasi aksi teror ke dalam perspektif heroisme bahkan jihad. Para teroris virtual ini tidak kalah berbahayanya dengan para teroris di lapangan. Di lapangan, para teroris yang bersenjata api dan bahan peledak bisa membunuh sejumlah nyawa. Di ranah digital, para teroris virtual yang bersenjatakan akun palsu bisa membunuh akal sehat jutaan manusia yang tersihir oleh opininya.
Ironisnya, di saat yang sama kaum moderat cenderung kurang solid. Di antara barisan kaum moderat itu justru kerap kali terjadi silang pendapat alias bertengkar hal-hal kurang subtansial. Akibatnya, agenda moderasi agama kerap kandas di tengah jalan lantaran para pengusungnya kerap bertikai sendiri-sendiri. Kita masih ingat ketika pemerintah membubarkan HTI dan melarang FPI. Respons kaum moderat secara mengejutkan terbelah. Sebagian mendukung kebijakan pemerintah. Namun, tidak sedikit yang resisten terhadap kebijakan tersebut.
Begitu pula ketika pemerintah gencar memberangus jaringan teror. Sebagian kaum moderat mengapresiasi tindakan itu sebagai bagian dari pemberantasan terorisme. Namun, tidak jarang pula yang mengkritik tindakan itu dengan argumen hak asasi manusia. Barangkali benar ungkapan yang mengatakan bahwa kumpulan orang pandai memang tidak akan pernah berhasil mewujudkan tujuan mulia karena mereka sibuk berdebat tentang definisi dan konsep lantas lupa bekerja. Ungkapan itu agaknya cocok untuk menggambarkan situasi saat ini.
Ketika kaum radikal-teroris gencar beraksi di lapangan dan membangun jejaring yang solid di dunia maya. Saat itu pula, kaum moderat masih sibuk berdiskusi tentang apa itu definisi yang tepat untuk terorisme. Apa motifnya, apakah agama atau bukan? Lantas, apakah pemberantasan terorisme sudah sesuai dengan prinsip hak asasi manusia? Tidak jarang, di antara kaum moderat itu saling terlibat pertikaian-pertikaian kecil yang sebenarnya merugikan agenda moderasi agama secara keseluruhan. Ketika kaum moderat terpecah belah, maka kaum radikal-teroris pun bersorak gembira.
Menjadi Agen Anti-Radikalisme di Dunia Maya
Di lapangan, aksi-aksi teror barangkali bisa kita serahkan sepenuhnya pada aparat keamanan. Penjagaan obyek vital baik umum maupun negara kiranya bisa dipasrahkan pada Polri dan TNI. Namun, di ranah digital fenomena terorisme virtual kiranya merupakan isu yang harus direspons secara bersama-sama terutama oleh kelompok moderat. Kaum moderat harus bersatu-padu, merapatkan barisan untuk membendung arus penyesatan opini yang digaungkan oleh jaringan teroris di dunia digital. Perang wacana di ranah digital inilah yang akan menentukan arah dan corak keberagamaan kaum milenial ke depan.
Bagaimana tidak? Banyak riset menyebutkan bahwa sebagian besar kaum milenial hari ini belajar agama melalui internet dan media sosial. Ini sekaligus menandai pergeseran otoritas pendidikan agama yang sebelumnya dipegang oleh lembaga pendidikan formal (sekolah) dan semi-formal (pesantren dan sejenisnya). Jika ranah digital didominasi bahkan dikuasai oleh kaum radikal, bisa dibayangkan corak keberagamaan seperti apa yang akan menjad arusutama terutama di kalangan milenial.
Persoalan inilah yang idealnya menjadi konsern utama kaum moderat dan agenda moderasi keberagamaannya. Bukan justru mengulik isu yang tidak relevan yang justru menguntungkan kelompok radikal-teroris. Agenda moderasi beragama terutama yang menyasar kalangan milenial tidak akan berjalan optimal jika kaum moderat sendiri tidak solid dan tercerai-berai dalam perbedaan pandangan. Tugas utama kaum moderat saat ini ialah membendung arus terorisme virtual dengan menggaungkan wacana moderasi beragama.
Kaum moderat harus bahu-membahu melepaskan kaum milenial dari pusaran ideologi radikal dan terorisme virtual yang bergentayangan di dunia maya. Caranya ialah dengan menyebarkan pandangan keagamaan yang sejuk dan toleran. Milenial moderat harus menjadi agen anti-radikalisme dan terorisme di dunia digital. Milenial moderat harus siap-siaga melawan setiap narasi glorifikasi dan heroisme atas aksi teror sebagaimana digaungkan para radikalis-teroris virtual.
Agenda moderasi agama akan sukses jika seluruh eksponen muslim moderat menjalankan fungsinya masing-masing dalam satu visi dan misi yang sama. Kalangan intelektual-akademis menyusun format gerakan merujuk pada kerangka gerakan teori perubahan (transformasi) sosial. Jaringan aktivis bergerak di level masyarakat akar rumput dan mengonsolidasikan kekuatan untuk membendung kelompok radikal melalui organ-organ masyarakat sipil. Para kiai dan ustad moderat mengembangkan corak keislaman yang ramah dan toleran melalui mimbar-mimbar dakwah.
Di ranah digital, para netizen berhaluan moderat kiranya bisa menjadi influencer dan agen bagi kampanye moderasi beragama. Memproduksi dan menyebarkan konten keislaman anti-radikalisme dan terorisme kiranya merupakan jihad kecil kita untuk menyelamatkan generasi milenial penerus bangsa dari pusaran ideologi radikal-terorisme.