“Palestina bebas dari penindasan Israel hanya dengan khilafah Islamiyah” demikian beberapa komentar dalam acara live yang berjudul Bincang AQSA dengan narasumber Ustad Felix Siauw dan Ustad Adi Hidayat yang disiarkan lewat Youtube (18/05/2021).
Seperti sudah bisa ditembak, acara ini dipenuhi dengan komentar yang menawarkan khilafah sebagai solusi. Sejak dulu, bagi para pengasung khilafah, seluruh akar permasalahan yang ada di dunia ini, baik itu kecil maupun besar, tidak lepas dari tidak ditegakkannya khilafah.
Dunia tidak aman karena khilafat tidak lagi berdiri. Dunia banyak konflik karena manusia sudah meninggalkan khilafah. Dunia perang dan banyak terjadi permusuhan sebab dunia benci khilafah. Pendek kata, apapun masalahnya, solusi satu-satunya (dan hanya itu, tidak ada yang lain) –adalah khilafah.
Kalimat itulah yang selalu diulang-ulang oleh para pengusung khilafah, kapan pun dan di mana pun. Bagi mereka, khilafah itu adalah ibarat obat ajaib yang bisa menyembuhkan obat segala penyakit.
Meminjam istilah kawan, para pengusung khilafah itu seperti iklan teh botol sosro, apapun makanannya minumnya teh botol sosro, apapun masalahnya solusinya khilafah islamiyah.
Memang betul kata Ainur Rafiq Al-Amin (Membongkar Proyek Khilafah),para pengusung khilafah itu layak mendapatkan piala sebagai penghayal terbesar abad ini. Meraka adalah para pengkhayal ulung yang memimpikan khilafah islamiyah sebagai jalan munuju kedamaian abadi. Nyatanya, itu hanya omong kosong saja.
Kompleksitas Konflik Israel-Palestina
Satu hal yang tidak disadari oleh para pengusung khilafah itu adalah masalah Israel dan Palestina itu adalah masalah kompleks. Ia tidak bisa didekati dengan pendektan hitam-putih dan salah-benar.
Pendekatan reduksionis-emosional justru memperrunyam masalah dan mengaburkan masalah yang sebenarnya. Masalah Palestina-Israel adalah masalah kompleks, maka sudah selayaknya dilihat dengan cara pandang yang kompleks juga.
Cara pandang kompleks yang dimaksud di sini adalah memandang masalah itu dengan tidak memojikkan salah satu pihak untuk meninggikan pihak lain. Kedua belah pihak harus didudukkan secara objekstif dan proporsional.
Tidak mungkin ada perdamaian jika hanya memilihat dan meninggikan satu pihak saja sembari memojokkan dan menutup mata terhadap pihak lain. Cara pandang proporsional inilah yang pernah diutarakan oleh Gus Dur ketika melihat masalah Israel-Palestina.
Sebab, menafikan salah satu pihak itu sama saja dengan omong kosong. Dan itu mustahil. Baik pihak Israel maupun pihak Palestina sama-sama ada salahnya dan sama-sama ada benarnya. Kedunya mempunyai sisi positif dan negatif sekaligus.
Jika digunakan perfektif Hak Asasi Manusia (HAM), Israel memang salah besar dan mereka sudah melanggar HAM dengan membuat orang yang tak bersalah dan anak-anak menjadi korban, tetapi harus dicatat juga Hamas pun melakukan hal yang sama, yakni mereka juga sudah melanggar HAM yang menyebabkan orang lain meninggal.
Cara Pandang Kemanusian
Oleh sebab itu cara pandang kemanusian adalah cara pandang yang lebih proforsional dan lebih adil. Siapa pun yang melanggar kemanusian –baik itu sama agamanya dengan kita atau tidak –maka ia layak dihukum.
Mencedarai kemanusiaan, melanggar hak-hak dasar yang ada pada manusia, membunuh pihak yang tidak bersalah, siapa pun itu maka layak dikutuk dan dihukum.
Bukan berarti karena dia sama agamanya dengan kita lantas dibela mati-matian meskipun sebenarnya mereka melakukan hal sama dengan pihak yang yang kita kutuk. Kutuklah kebejatan, keserakahan, dan kebengisan itu atas dasar kemamusian, bukan atas dasar agama atau ideologi politik kelompok.
Cara pandang kemanusian adalah cara pendang yang lebih bijak. Sebab, kita memperlakukan manusia sama dan setara. Tidak membeda-bedakan apalagi memuji satu pihak sembari mencela pihak lain.
Cara pandang dan narasi sektarian harus kita tinggalkan. Cara pandang ala pengusng khilafah harus ditinggalkan. Itu adalah cara pandang dan narasi sektarian, yang hanya mau melihat masalah dengan kacamata kelompoknya saja.
Khilafah Islamiyah –seperti yang digembor-gemborkan para pengusungnya –hanya mimpin di siang bolong, hanya manis di mulut saja. Pendekatan reduksionis-emosional dalam melihat permasalahan harus ditinggalkan. Kita saatnya kita tampilkan cara pandang universal-rasional dalam melihat suatu masalah.