Entah kenapa, di Indonesia “jualan Khilafah” masih saja begitu laris-manis di pasaran umat. Bahkan, sebagian umat Islam Indonesia, masih cukup banyak yang menggemari hal-hal yang berbau khilafah dan sering digrosir besar-besaran. Pun, di setiap ada persoalan, khilafah selalu disodorkan sebagai solusi.
Lucunya lagi, ketika konflik Palestina-Israil kembali memanas, di sinilah pasar-pasar khilafah di Indonesia mulai dibuka. Segerombolan “sales khilafah” mulai turun ke jalanan memanfaatkan peluang. Dimulai dari penggalangan dana, sambil membawa spanduk dan poster yang bertuliskan khilafah. Lalu mengisi sepanjang jalan di berbagai wilayah untuk bersorak-suara “Khilafah perlu ditegakkan di Palestina!!!”.
Padahal, jualan khilafah di negara-negara Arab Timur Tengah (khususnya) di Palestina sendiri, itu tidak laku sama sekali. Seperti bisnis kurang kerjaan saja. Karena, sejak dulu pihak otoritas Palestina sangat paham betul, bahwa Taqiyudin al-Nabhani dengan organisasi politiknya HT (Hizbut Tahrir) yang menjadi pusat produksi khilafah yang telah dibangun pada tahun 1953 itu, sejatinya bukan tentang kepedulian dirinya beserta misi organisasinya untuk Palestina.
Karena Taqiyudin al-Nabhani berupaya untuk “menipu” dengan cara halus. Memanfaatkan kelembutan, kehausan dan kefanatikan tanpa “ilmu” terhadap agama. Sehingga, umat Islam mudah dipengaruhi dengan embel-embel Khilafah Islamiyah demi tujuan politis di Palestina. Yaitu demi melancarkan restorasi Dinasti Nabhan supaya bisa bangkit kembali dan berjaya. Di mana, secara akar historis, dinasti itu milik leluhur Taqiyudin al-Nabhani yang sejarahnya pernah kokoh di Oman sejak abad 12 hingga abad 17 lamanya.
Namun, anehnya bisnis khilafah di Indonesia justru semakin berkembang pesat dan laku di pasaran. Bahkan membuat sebagian kecil umat Islam Indonesia seperti “mabuk khilafah”. Tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya dimanfaatkan sebagai inang politik. Umat Islam Indonesia sebagian telah tergerus dengan bisnis politik yang semacam ini. Mereka seperti “buta” akibat terlalu cinta dengan khilafah yang sering-kali digaungkan tanpa memikirkan kembali bahwa mereka sebetulnya dimanfaatkan demi urusan-urusan politik praktis yang basis-nya bukan tentang masa depan akidah, tetapi demi masa depan kekuasaan.
Memang, klaim kelompok ini selalu memperindah strategi dengan dalih-dalih agama. Seperti menegakkan syariat Islam atau khilafah Islamiyah agar negaranya terkenal Islami. Pada konteks yang semacam ini, umat Islam Indonesia mudah percaya dengan janji-janji yang semacam itu. Entah karena keterbatasan dirinya perihal agama. Atau mereka yang mudah terpengaruh, karena keadaan mendesak hingga mereka mau ikut dengan catatan dapat imbalan dan lain sebagainya.
Tetapi persoalan isu khilafah yang masih terus laku di pasaran umat Indonesia ini masih saja dijadikan “jalan utama” di segala tempat, kondisi dan situasi yang menjadikan itu sebagai solusi. Termasuk mereka saat ini mulai membentuk solidaritas Palestina dengan harapan demi menegakkan khilafah di sana. Lalu turun ke berbagai tempat, jalan dan mengadakan sebuah perkumpulan tentang solusi khilafah di Palestina.
Perlu kita ingat, khilafah yang diagungkan, digaungkan dan dijual di jalanan itu sejatinya “TIDAK LAKU DI PASARAN ARAB” khususnya di daerah Palestina. Bahkan semua pemerintah yang ada di negara Timur Tengah menolak konsep-konsep khilafah yang semacam itu. Hisbut Tahrir-pun di sana sebagai pusat pengibar angin Khilafah sama sekali tidak laku alias mati di pasaran.
Karena mereka paham, khilafah yang digaungkan semacam ini bukan tentang solusi keagamaan untuk Palestina. Apalagi mengatasnamakan solidaritas Palestina untuk merdeka. Apalagi tentang ajaran Islam dan basis syariat. Mutlak tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan masyarakat Palestina. Karena, ini hanya misi politis yang sebetulnya juga memiliki tujuan untuk menguasai wilayah tertentu layaknya di Palestina.