Belakangan kita sering melihat di berbagai media massa, orang yang mengaku berjuang menegakkan agamanya dengan cara yang cenderung mengancam dan menakut-nakuti kelompok lain yang berbeda. Kadang pihak yang melakukannya merasa itu bagian dari dakwah. Apakah dianjurkan berdakwah dengan cara-cara seperti itu?
Cara paling mudah untuk menjawabnya adalah dengan membandingkan dengan Akhlak (perilaku) Nabi Muhammad selama ia hidup.
Jauh sebelum mendapat wahyu kenabian dari langit, Nabi Muhammad sudah dikenal sebagai pribadi yang mengesankan oleh masyarakat Mekkah. Salah satu buktinya adalah gelar Al-Amin (orang yang dipercaya) yang disematkan kepadanya. Gelar ini didapatkannya ketika berhasil meredakan sebuah perselisihan di kalangan kaum Quraisy.
Akhlak yang terpuji terus dicontohkan Nabi ketika ia sudah menjadi rasul, sampai akhir hayat. Terkait hal ini bahkan dengan gamblang ia katakan, “aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Banyak contoh yang bisa kita dapatkan dari kisah hidup Nabi sehari-hari. Mulai dari caranya memperlakukan sahabat, sampai caranya memperlakukan orang yang berbeda agama, bahkan yang membencinya.
Ada sebuah cerita populer tentang seseorang yang begitu membenci Nabi Muhammad, sampai setiap hari ia melempari Nabi dengan kotoran. Tapi ketika orang itu sakit, Nabi jadi orang pertama yang menjenguknya. Karena perlakuan Nabi yang begitu manusiawi, orang itu memutuskan untuk memeluk Islam.
Kepada para sahabatnya Nabi dikenal sebagai sosok yang bersahabat, bisa berkelakar di saat-saat tertentu, dan tak ingin lebih dihormatri lebih tinggi dari orang-orang di sekitarnya. Tapi pada saat yang diperlukan, ia bisa bersikap tegas pada sahabatnya, seperti pada kasus Mu’adz bin Jabal.
Mu’adz ditegur Nabi karena membaca surat yang panjang (Albaqarah) saat mengimami shalat Isya, sementara di antara makmumnya ada yang tidak punya banyak waktu dan ada juga yang kelelahan. Nabi menganjurkan agar melihat kondisi para makmum lebih dulu sebelum memilih ayat yang dibaca.
Ada juga kisah tentang pengemis buta yang selalu menghina Nabi Muhammad setiap hari. Ia tidak tahu bahwa orang yang selalu dihinanya adalah orang yang menyuapinya setiap hari. Sampai ketika Nabi wafat dan kebiasaan menyuapi ini diteruskan Abu Bakar Shidiq, pengemis itu baru tahu bahwa selama ini yang menyuapinya adalah Nabi.
Memang kita juga tahu Nabi berkali-kali terlibat peperangan dengan kelompok Quraisy. Tapi ini dilakukan untuk mempertahankan diri saat tak ada pilihan lain, bukan sebagai praktik dakwah. Peperangan terjadi biasanya karena kelompok lawan lebih dulu menyerang, atau menyudutkan posisi kelompok muslim. Contohnya saat kaum Quraisy memberlakukan embargo perdagangan pada kelompok muslim.
Salah satu kemenangan Nabi yang paling dihormati sejarawan justru adalah peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah). Saat itu Nabi memutuskan kembali ke Mekkah setelah 10 tahun di Madinah dan sudah memiliki kekuatan yang besar. Mekkah bisa ditaklukkan dengan damai, tanpa setetes darah pun tumpah.
Tak bisa dibantah, akhlaq yang terpuji menjadi salah satu kunci keberhasilan Nabi Muhammad dalam berdakwah. Namun begitu, sebagaimana manusia biasa, Nabi Muhammad juga bisa melakukan kekeliruan. Hal ini seperti ditunjukkan dalam riwayat turunnya surat Abasa.
Diceritakan bahwa Nabi tengah berbicara kepada beberapa petinggi Quraisy untuk menyampaikan soal makna Islam. Saat itulah seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum datang dan meminta Nabi mengajarkan beberapa ayat Alquran. Nabi mengacuhkannya karena menganggap forum tersebut lebih penting. Tak berapa lama, turunlah ayat Abasa untuk menegur Nabi.
Menanggapi teguran ini, Nabi segera menyadari kesalahannya, dan segera mencari Abdullah bin Ummi Maktum untuk memenuhi permintaannya. Dari kasus ini bisa dikatakan bahwa Nabi Muhammad mampu menerima kritik dengan baik dan terbuka.
Dari beberapa contoh di atas, kita melihat pribadi Nabi Muhammad yang ramah dan bukan pendendam, tapi tegas dan terbuka pada kritik. Dia tak pernah berdakwah dengan kekuatan fisik atau dengan menakut-nakuti orang, baik di saat masih menjadi minoritas, maupun ketika sudah menjadi mayoritas.
Untuk belajar cara berdakwah, mari kita ingat lagi akhlak mulia Nabi Muhammad.