Momen 17 Agustus rasanya merupakan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Peringatan Hari Kemerdekaan merupakan pesta dan syukuran publik untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan dan memohon doa agar bangsa ini selalu berdiri kokoh dengan masyarakat yang tangguh untuk tumbuh menjadi bangsa besar.
Di tengah momen ini sepertinya ada kebisingan terhadap apapun kebijakan dan program untuk menumbuhkan nasionalisme dan cinta tanah air. Salah satunya adalah lomba yang diadakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam rangka memperingati Hari Santri nanti. Gelaran itu adalah lomba penulisan artikel tingkat nasional dengan mengusung dua tema yaitu ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’.
Tentu saja, ada penolakan dan kritik yang seolah ada yang membenturkan antara Islam dan nasionalisme dan masih ada yang berpandangan haram terhadap hormat bendera. Tema yang dikhususkan santri itu seolah selalu mendudukan Islam mempersoalkan hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Di momen 17 Agustus tentu saja hal ini menggelitik saya untuk sekedar memberikan penalaran. Apakah memang ada yang mengharamkan Hormat Bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya? Apakah dengan mengajak santri menegaskan nasionalisme berdasarkan dalil agama berarti membenturkan antara agama dan nasionalisme?
Mau jujur harus dikatakan sebagian kecil kelompok dalam Islam masih mempersoalkan hormat bendera sebagai tindakan yang dilarang dengan istilah haram bahkan syirik. Apakah memang ada kelompok yang membenturkan antara Pancasila dan Islam? Ya, harus tegas dikatakan ada dan merupakan bagian kecil dari masyarakat muslim tanah air.
Bayangkan narasi itu muncul dengan menyebut Pancasila sebagai berhala, thagut dan bentuk kemusyrikan. Itu fakta bukan karangan atau justru islamofobia. Kelompok yang tidak mau hormat bendera dengan alasan agama itu fakta bukan rekayasa dan bukan pula islamofobia. Itulah gambaran dari segelintir masyarakat yang tidak siap beragama dan bernegara sekaligus. Kedangkalan pemahaman menyebabkan mereka menjadi berpikiran sempit dalam beragama dan tidak toleran dalam bermasyarakat.
Apakah itu rekayasa? Apakah itu islamofobia. Mari buka fakta dan data bahwa ada sekelompok masyarakat kecil yang selalu membenturkan antara ketaatan kepada agama dengan kesetiaan pada negara. Keyakinan itu hanya kerikil kecil, namun bisa menjadi batu besar dalam penanaman kebangsaan terhadap generasi berikutnya.
Menegaskan Cinta Tanah Air melalui Ajaran Agama, Apa Salahnya?
Dalam konteks inilah, lomba Hari Santri dengan mengambil tema keislaman dalam memaknai nasionalisme adalah bagian dari kampanye dan penegasan kebangsaan umat Islam Indonesia. Sebuah gerakan dari kalangan santri agar generasi muda Islam yang non-santri memahami bahwa ada penegasan dalil tentang nasionalisme. Bukan membenturkan tetapi menegaskan sebagai bentuk perjuangan santri.
Beberapa cendikiawan muslim pada awal-awal kemerdekaan juga menulis banyak tentang tema Islam dan Pancasila, Islam dan Negara dan Islam dan Nasionalisme. Apakah itu berarti membenturkan? Tidak, mereka ingin menegaskan pentingnya rasa cinta tanah air dengan landasan keagamaan karena masyarakat nusantara adalah relijius. Gagasan dan ide itu pada waktunya sangat menarik didiskusikan dan ditulis.
Lalu, pada suatu masa gerakan reformasi menghantam berbagai dimensi kehidupan yang terkesan terbebaskan. Ideologi, aliran dan keyakinan muncul menyeruak ke ruang publik dengan tanpa sadar membenturkan agama dan negara, nasionalisme dan ajaran agama dan mencoba menghukumi secara sadis kebanggaan terhadap tanar air dengan narasi haram, musyrik dan thagut.
Narasi-narasi itu bertebaran dan mudah ditangkap secara dangkal oleh kalangan generasi muda saat ini yang haus ajaran agama, tetapi ingin mendapatkan secara instan. Siapa yang bertanggungjawab untuk mengedukasi? Apakah dengan edukasi generasi muda tentang Islam dan Pancasila, Hormat Bendera, dan sebagainya adalah bagian dari islamofobia?
Mari, sejenak memikirkan tentang masa depan bangsa dengan berbagai dimensinya. Ada ancaman politik, ekonomi, sosial-budaya, dan tentu ideologi. Berperan penting dalam menghadapi berbagai tantangan itu penting sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mengajak generasi muda seperti para santri untuk mengguangkan nasionalisme dengan dasar agama menjadi penting sebagai gerakan bersama. Ingat! Agar tidak ada kelompok yang menjual agama untuk kepentingan politik dengan membenturkan keduanya.