Mungkin masih ada beberapa yang menolak istilah deradikalisasi. Kelompok teroris pun menolak kata itu dan bahkan narapidana terorisme ada yang keberatan mengikuti program itu. Alasan yang kerap dilontarkan adalah deradikalisasi berarti de-islamisasi yang bisa meruntuhkan akidah.
Beberapa kalangan mencoba mengganti istilah dengan moderasi, yang artinya mengupayakan moderasi pemahaman keagamaan. Sebenarnya intinya sama, tetapi hanya istilah berbeda dan terkadang kita terlalu senang terjebak dengan istilah. Deradikalisasi berarti upaya membersihkan paham dan pemikiran yang radikal dalam memaknai ajaran agama.
Deradikalisasi harus dipertegas sejak awal sebagai upaya dan proses sistematis untuk memoderasi dan menghilangkan pemikiran dan paham yang radikal dalam memaknai suatu ajaran. Obyek yang menjadi sasaran dari program ini berarti pemikiran dan paham, bukan ajaran itu sendiri. Ajaran Islam dan agama-agama lain pada prinsipnya adalah moderat, tetapi menjadi bermasalah ketika ditafsirkan secara radikal dan ekstrem.
Dalam Islam, upaya meradikalisasi ajaran itu disebut dengan ghuluw, yakni pemahaman dan sikap berlebihan dalam memahami dan mempraktek suatu ajaran. Sekali lagi, bukan ajaran itu sendiri yang pada hakikatnya ekstrem atau radikal, tetapi cara pandang dan pola prakteknya yang berlebihan atau melampaui batas.
Ketika seorang sahabat berpuasa dan shalat secara berlebihan hingga menafikan hak badannya, hak keluarganya dan lingkungan sekitarnya, Nabi mengatakan jangan mempersulit diri dan berlebihan. Allah mempunyai hak dan manusia, termasuk badan kita sendiri juga mempunyai hak. Ketika seorang sahabat menjadi imam dan membaca surat yang teramat panjang, Nabi pun menegor agar tidak memberikan fitnah dan musibah terhadap orang lain karena bisa saja yang berdiri sebagai makmum ada orang tua renta, orang lemah dan orang yang punya kepentingan.
Dalam dua kasus tersebut, yang menjadi persoalan bukan ibadah puasa, shalat atau berjamaahnya, tetapi cara pandang dan praktek yang berlebihan dalam melaksanakan ibadah tersebut yang menjadi persoalan. Apakah tegoran Nabi terhadap sahabat berarti melarang mereka beribadah? Tentu tidak, tetapi cara pandang dan prakteknya yang harus diperbaiki.
Termasuk pula dalam persoalan jihad. Yang menjadi persoalan adalah bukan istilah dan ajaran jihad itu sendiri, tetapi cara pandang dan praktek berlebihan atau justru praktek yang berseberangan dengan makna jihad itu sendiri. Bukan berarti atas nama jihad seseorang bisa melakukan tindakan kekerasan dan teror yang bisa membawa musibah bagi yang lain dan menjadi fitnah dalam agama.
Deradikalisasi makna jihad menjadi penting di sini untuk membersihkan dan merebut kembali makna jihad yang telah disalahtafsirkan, disempitkan dan dibajak oleh kelompok radikal terorisme dalam citra yang buruk dan negatif. Deradikalisasi makna jihad bukan berarti de-jihadisasi dalam arti menafikan dan meniadakan jihad sebagai ajaran, tetapi membersihkan dan mengembalikan makna jihad pada posisi semula sebagaimana dikatakan Nabi sebagai puncak agama.
Dasar dan Urgensi Deradikalisasi Makna Jihad
Pertanyaan selanjutnya kenapa dan bagaimana deradikalisasi makna jihad dilakukan? Ada beberapa hal yang perlu dipahami terlebih dahulu agar tidak tergesa-gesa dalam melakukan deradikalisasi makna jihad. Latar belakang butuhnya deradikalisasi makna jihad karena disebabkan beberapa hal. Pertama, distorsi makna jihad. Kelompok radikal terorisme telah melakukan distorsi, fitnah dan bid’ah paling besar dalam sejarah dengan menjadikan pembunuhan, kerusakan dan bom bunuh diri sebagai jihad. Jihad dalam makna dan pandangan mereka menjadi sangat menakutkan sebagai ancaman besar yang merusak citra Islam.
Kedua, penyempitan ruang jihad. Kelompok radikal terorisme memaknai jihad secara sempit bahkan terbatas. Yang ada dalam benak mereka bahwa jihad adalah perang (qital). Eksrpresi jihad diwujudkan dalam bentuk perang dan tidak ada wujud yang lain.
Ketiga, politisasi makna jihad. Kelompok radikal menggunakan istilah jihad secara serampangan sebagai kekuatan ofensif dalam menyerang yang berbeda yang dianggap kafir. Tidak peduli agama seseorang, yang berbeda dari cara pandang mereka adalah musuh. Tidak peduli di wilayah mana harus dilakukan, perang atas nama jihad dilakukan. Tidak peduli ada perintah dari pimpinan, jihad perang dalam tafsir mereka harus ditegakkan.
Atas tiga cara pandang yang berlebihan tersebut, deradikalisasi makna jihad mutlak diperlukan. Mengembalikan makna jihad pada posisi sebagai puncak agama harus dilakukan agar tidak memperburuk citra jihad dan Islam pada umumnya. Jika tidak, akan terus ada pembenaran atas nama jihad terhadap perbuatan yang sesungguhnya bertentangan dengan syariat Islam.
Terhadap apa yang ditafsirkan dan dilakukan oleh kelompok radikal tersebut lalu apa yang harus dilakukan? Di sinilah perlu deradikalisasi makna jihad untuk menghilangkan dan membuang pemaknaan kelompok radikal dalam mendistorsi, menyempitkan dan mempolitisasi makna jihad.
Jika tidak sepakat dengan istilah deradikalisasi, tidak menjadi persoalan untuk menggunakan istilah moderasi atau mengembalikan makna jihad. Namun, terpenting bahwa unsur dan aspek pemaknaan yang radikal, ekstrem dan ghuluw-atau istilah lainnya- dalam memaknai dan mempraktekkan jihad sebagaimana kelompok teror itu harus dihilangkan.
Mengembalikan Jihad sebagai Puncak Agama
Di sinilah perlu dipertegas oleh para ulama, pakar dan orang yang kompeten untuk selalu mendesiminasikan makna jihad yang sebenarnya. Ajaran ini harus direbut kembali esensi dan maknanya dari para pembajak agama yang kerap menjadikan jihad sebagai alat kekerasan. Generasi muslim yang masih belia membutuhkan semangat jihad dalam makna dan praktek yang benar. Bukan dari cara pandang yang ekstrem dan radikal sebagaimana telah dirumuskan dan dipraktekkan kelompok radikal terorisme.
Jihad merupakan puncak agama karena sebagai upaya mengerahkan upaya dengan sungguh-sungguh (jahada) dalam mencapai ridho Tuhan. Wujud upaya yang sungguh-sungguh sangat beragam. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad memberi empat tingkatan dalam jihad seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan munafik dan jihad melawan kemungkaran dan orang dzalim.
Inti jihad sejatinya adalah mengerahkan upaya dalam bentuk hati, lisan dan tindakan untuk melawan keburukan dalam bentuk apapun agar tercapai kemashlahatan. Perang sebagai salah satu bentuk jihad karena membutuhkan upaya sungguh-sungguh dan bersusah payah adalah praktek yang dilakukan dalam kondisi, situasi dan ketentuan yang sudah ada aturannya.
Jika dalam kondisi damai tidak ada perang bahkan dilarang melakukan perang, bukan berarti ladang jihad tidak ada. Umat Islam mempunyai kesempatan yang besar untuk menjadi mujahid dan pembela agama sesuai dengan kadar kemampuan, profesi, waktu dan tempat masing-masing.
Kembali pada istilah deradikalisasi makna jihad, istilah ini hanya menjadi salah satu pilihan dalam mengajak seluruh cendikiawan, ulama dan tokoh Islam dalam mengembalikan makna jihad yang telah dibajak dan ditafsirkan secara radikal dan ekstrem oleh kelompok teror. Istilah ini bukan de-jihadisasi, apalagi de-islamisasi atau justru islamofobia. Bukan itu saudaraku!
Deradikalisasi makna jihad atau istilah apapun yang menurut anda lebih enak didengar adalah meluruskan, memperluas dan mengembalikan makna jihad yang sebenarnya sesuai tuntunan syariat Islam, bukan tuntunan pemahaman kelompok yang mengatasnamakan Islam tetapi kerap menebar fitnah dan musibah terhadap Islam. Dengan pengertian ini, proses deradikalisasi sebenarnya bentuk jihad karena sebagai upaya yang sungguh-sungguh membela Islam dari pembajakan kelompok teror.