“Pancasila itu gak ada. Yang ada itu gambar garuda Pancasila. Teks Pancasila itu ada, tapi Pancasila itu gak ada.” Kata-kata ini adalah ungkapan yang menusuk yang disampaikan budayawan Sujiwo Tejo dalam salah satu acara televisi.
Penetrasi ideologi alternatif semacam radikalisme agama sejatinya terjadi sebab ideologi Pancasila tidak aktual lagi di kehidupan kita. Pancasila hanya sering dijadikan pajangan, seremonial, formalitas, upacara, tetapi tidak membumi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila yang penuh gotong-royong, persatuan, toleran, dan menghargai keberagaman sudah tercerabut dalam kehidupan anak bangsa. Tak berhenti di sini, kebijakan dalam menjalankan Negara sering dilakukan salah arah dan jauh dari semangat Pancasila.
Mahfud MD (2018) menyatakan, setidaknya akan terjadi empat Dis jika kita suatu bangsa lupa akan dasar dan falsafah negaranya sendiri. Pertama, dis-orientasi. Salah arah dalam penegakan hukum, kelola negara, dan pengambilan kebijakan.
Kedua, dis-trust. Timbul ketidakpercayaan masyarakat akibat dari salah arah. Masyarakat mulai muak, main hakim sendiri pun bermunculan. Ketiga, dis-obedience, timbulnya pembangkangan terhadap negara. Keempat, dis-integrasi, negara pecah, terjadi polarisasi, konflik.
Kekosongan ideologi ini sebab kita menjauh dari Pancasila, dengan apik dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menawarkan ideologi alternatif. Sebab Pancasila tidak lagi aktual, maka khilafah disodorkan sebagai koentji.Khilafah adalah bak obat manjur yang bisa mengobati segala penyakit dan masalah yang dihadapi masyarakat. inilah yang disebut dengan lorong ideologi alternatif itu.
Artinya, radikalisme agama dengan segala bentuknya bermain dalam lorong-lorong ideologi yang mulai ditinggalkan oleh manusianya sendiri.
Penetrasi Radikalisme Agama
Menjauhnya kita dari Pancasila berakibat mendekatnya radikalisme kepada masyarakat. Para pengusung paham radikal dengan lihai menyasar para anak muda, masyarakat, dan generasi bangsa pada umumnya.
Target utama mereka adalah para anak muda, anak-anak, dan rumah tangga. Sebab ketiga unsur inilah yang jadi pilar tegak tidaknya suatu bangsa nantinya. Anak muda yang masih punya semangat bergejolak, anak-anak yang masih polos, institusi keluarga yang steril dari pengawasan pemerintah, menjadi sasaran empuk ideologi radikalisme agama.
Pola penyebaran dilakukan lewat pengajian, halaqah, mesjid, mushalla, organisasi, dan paling efektif adalah lewat media sosial. Khusus yang terakhir dilakukan dengan umpan pancing. Artinya paham radikal dipasarkan begitu aja ke lini massa medsos laiknya seorang pemancing lagi menebarkan umpannya di lautan luas. Siapa yang merespons, itulah yang diindoktrinasi, dan diincar secara massif dan rapi.
Paham radikal yang disebarkan kepada anak bangsa antara lain. Pertama,dukungan dan ajakan bergabung dengan khilafah. Ini dengan mudah kita temui –baik secara tersurat maupun tersirat – di sekeliling kita. Para pengusung dan simpatisan khilafah dengan bagus bisa memasarkan khilafaisme itu kepada khalayak umum.
Kedua, anti-demokrasi dan Pancasila. Gerakan ini dilakukan, sebab bagi kelompok radikal, keduanya adalah berhala ciptaan manusia yang tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Yang bisa menciptakan itu, hanyalah sistem Islam yang diambil dari kedua sumber Islam.
Ketiga, mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan golongannya. Dalam istilahnya disebut kaum takfirisme. Beda dikit kafir. Tidak sesuai manhaj, kafir. Bertolak belakang dengan tokoh mereka, sesat. Ada pendapat yang tidak mainstream, dibilang perusak akidah.
Keempat, kekerasan atas nama agama yang teraktualasi ke dalam terror yang diklaim sebagai jihad dan panggilan syahid. Inilah puncak dari radikalisme. Bermula dari intoleransi, tidak mau menerima orang lain. Kemudian jadi radikal, ingin mengganti sistem yang ada, dan ujungnya teroris, ingin mengubah itu dengan cara kekerasan.
Wawasan Kebangsaan
Penetrasi ideologi radikal itu tidak bisa tidak harus ditangkal. Gerak lajunya harus dihentikan. Dengan cara apa? Salah satu usaha penting itu adalah penguatan wawasan kebangsaan. Penguatan itu bisa dilakukan dengan cara.
Pertama, integrasi agama dan kebangsaan. Pendidikan kita masih terasa ada dikotomi dan jarak yang jauh antara pendidikan agama di satu sisi, dan pendidikan kebangsaan di sisi yang lain. Padahal keduanya adalah satu tarikan nafas.
Harus diajarkan kepada anak-anak, para pemuda, juga keluarga, bahwa beragama sama pentingnya dengan bernegara. Beragama tidak sempurna, jika keberagaman, perbedaan, dan pluralitas budaya bangsa ini tak dirawat.
Pendidikan agama kita selama ini masih berkutat di seputar ibadah mahdah. Pembumian lewat cinta tanah air, cinta damai, perjuangan memajukan bangsa, masih berjalan secara sporadis. Pendidikan kita harus bisa melahirkan generasi yang agamis sekaligus nasionalis. Agama dan kebangsaan adalah ibarat ikan dengan air.
Kedua, kemanusiaan. Para generasi bangsa harus dibangun pada kesadaran, bahwa kemanusiaan adalah tolak ukur. Segala macam paham, doktrin, ajakan, apapun itu, apabila masih mengorbankan kemanusiaan harus ditolak mentah-mentah. Kemanusiaan adalah fondasi kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ali bin Abi Thalib menyatakan, jika kita tidak saudara seiman, kita masih saudara dalam kemanusiaan. Inilah yang disebut kemanusiaan yang adil dan beradab. Hidup tidak lagi memandang latar belakang: agama, suku, budaya, tradisi, asalkan ia manusia, maka ia harus dihormati, hak-haknya harus dilindungi, darah dan kehormatannya haram dirampas.
Lorong kosong dan sepi sebab kita meninggalkan Pancasila sengaja diambil oleh ideologi radikalisme agama harus segara dihentikan. Mari kita bersama-sama menghidupkan kembali di kehidupan sehari-hari, supaya Pancasila tidak seperti yang diungkapkan Sujiwo Tejo itu: hanya teksnya saja. Dengan demikian, ideologi radikalisme tidak bisa masuk ke dalam lorong-lorong kehidupan anak bangsa.