Lato-lato merupakan permainan tradisional tahun 1990-an yang kini tengah viral. Permainan ini tengah menjadi trend. Baik kalangan muda hingga tua, semua mencoba memainkannya. Meskipun, permainan tersebut bukan berasal dari Indonesia, namun permainan ini telah meniscayakan kebersamaan di dalamnya.
Sebab, kemajuan digital yang kita rasakan saat ini, tampaknya melahirkan kekakuan dalam siklus sosial yang semakin berjarak dan penuh individualisme. Tentu, adanya trend romantisme Lato-Lato inilah, tampaknya akan menjadi (wasilah) bagi kebersamaan kita yang “hampir” berada di ujung persemayaman.
Banyak di kalangan orang tua yang menanggapi secara positif terkait trend permainan Lato-Lato ini. Karena anak-anaknya bisa mengurangi aktivitas kesendiriannya dalam bermain game di smartphone tanpa henti. Kini dengan hidupnya trend Lato-Lato, mereka justru lebih banyak bertemu dengan teman-temannya.
Permainan Lato-Lato memang “sedikit” membahayakan jika tidak mengerti cara memainkannya. Namun, secara orientasi, permainan asal Amerika ini mampu menjadi sublime-etis kultural. Melahirkan semacam pola kebersamaan yang sebetulnya menjadi dasar penting bagi kita untuk memperkuat nilai kebangsaan kita sendiri.
Beberapa waktu yang lalu Presiden RI Joko Widodo dengan Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat) tengah memainkan Lato-Lato, pada saat kunjungan di Subang Jawa Barat. Apa yang dilakukan sosok Presiden dan Gubernur ini semata ingin melestarikan apa yang kita miliki yaitu (kebersamaan) melalui permainan Lato-Lato itu.
Terlebih, adanya dukungan dari pejabat publik bisa meningkatkan perekonomian masyarakat karena penjualan Lato-Lato yang drastis banyak peminatnya. Juga, ini akan menjadi satu komoditas penting dalam membangun kebersamaan di tengah arus digital yang condong individual itu.
Bahkan kalau kita lebih mendalam membahas permainan tradisional yang semakin waktu semakin ditinggalkan. Tampaknya ini tidak sekadar tentang “relevansi”. Melainkan cara kita melihat peranan di balik permainan itu sendiri.
Anak-anak modern di era kemajuan digital saat ini, mungkin tidak banyak yang berminat dengan permainan tradisional. Layaknya Bola Bekel, kelereng, Cublak Cublak Suweng, Tuk Tuk Gani, lompat tali dan permainan tradisional lainnya. Tentu, kebanyakan di antara mereka mungkin akan lebih senang duduk bermain Mobile Legends, Pubgi dan game lainnya di smartphone.
Walau-pun secara orientasi, permainan tradisional yang disebutkan di atas tidak sekadar hiburan semata. Melainkan ada satu dimensi, di mana permainan selalu berhubungan dengan rasa kebersamaan itu. Hingga mampu menjadi (entitas sosial) yang sejak dulu dipertahankan oleh pendahulu kita.
Sebagaimana dalam konteks Lato-Lato, permainan ini adalah satu cara membangun romantisme di masa lalu di dalamnya memiliki simbol kebersamaan di dalamnya. Sebab, kemahiran kita dalam permainan Lato-Lato tidak akan berarti jika tidak bersama teman-teman yang lain.
Artinya apa? pencapaian dari permainan Lato-Lato ini tidak hanya sekadar saling bersaing siapa yang paling lama bertahan dalam sebuah permainan. Namun, di dalamnya ada semacam simbol yang menghubungkan kita secara sosial.
Tentu dalam konteks yang semacam ini, bukan berarti Saya membuat penghakiman atas permainan modern yang ada di Smartphone itu. Karena, Saya hanya ingin menyampaikan satu kesadaran penting bagi kita. Bahwa, permainan tradisional itu perlu kita pertahankan sebagai identitas kita yang bisa menghubungkan kebersamaan di dalamnya.
Permainan tradisional bukan tentang “zaman dahulu” yang dianggap tak relevan lagi. Sebab, permainan lokal di masa lalu tidak sekadar permainan. Melainkan cara kita membangun kebersamaan. Di situlah identitas kita dan di situlah kualitas kita yang harus dipertahankan di negeri ini.