Francis Fukuyama (2020) dalam bukunya yang berjudul Identitas: Tuntutan atas Martabat –dengan mengacu pada buku yang ditulis para penulis cyberpunk, dariB. Sterling, W. Gibson, dan hingga N. Stephenson– mengatakan bahwa ”…masa depan didominasi bukan oleh kediktatoran terpusat, melainkan oleh fragmentasi sosial….”yang diakibatkan oleh politik destruktif; sebuah praktik politik yang menghalalkan segala cara seperti mempolitisasi identitas agama, suku dan ras, dan etnisetnis (politisasi SARA).
Fukuyama, ilmuwan politik itu membuat kesimpulan demikian karena pun dunia telah mengalami industrialisasi, modernisasi, dan rasionalisasi pemikiran, namun nyatanya politik identitas (politisasi SARA)–sebagaimana dilihat Fukuyuma–alih-alih mereda, keberadaannya justru semakin subur dan mengkhawatirkan. Narasi-narasi identitas, seperti narasi anti-China (Sinofobia), masih sering kita temukan di setiap momentum politik elektoral.
Di Pilpres 2019, masih segar dalam ingatan kita, Presiden Jokowi yang kala itu duduk sebagai calon presiden diisukan sebagai peranakan Tionghoa, di samping juga diisukan sebagai antek-antek China. Kedua orang tua Jokowi juga dirumorkan sebagai keturunan Tionghoa dan karena itu Jokowi dipersepsikan sebagai wakil daripada kepentingan orang-orang China. Sedangkan secara ideologis, juga dianggap mendukung komunisme ala Tiongkok.
Dalam konteks hari ini, keberadaan politik identitas (politisasi SARA) semacam anti-China semakin subur karena didukung dengan adanya ’media sosial’. Dengan hadirnya ’media sosial’ atau, meminjam bahasa Jean Baudrillar– ’yang virtual’ menurut Fukuyama telah mempermudah pertemuan antaridentitas yang terpisah-pisah. Yang jika sampai dipolitisasi, dampaknya memang sungguh mengerikan, persis seperti yang terjadi di Indonesia pada momentum Pilpres 2019, menyulut konflik dan api perpecahan di kalangan masyarakat.
Karena itu, pada momentum Pilpres 2024 nanti, kita berharap politisasi identitas (politisasi SARA) seperti narasi Anti-China tidak lagi digunakan sebagai bahan bakar politik guna mendulang kemenangan politik. Sebab, dampak perpecahan dan fragmentasi sosial yang diciptakan sangat luar biasa mengerikan, mengancam persatuan dan kerukunan kita sebagai bangsa dan negara. Persis seperti yang kita alami dalam Pillres 2019.
Urgensi Komitmen Kolektif
Dalam hemat penulis, komitmen kolektif untuk tidak menggunakan politik identitas (politisasi SARA) dalam kontestasi Pilpres 2024 adalah kunci untuk mencegah adanya perpecahan politik. Karena itu, pada titik ini, kita mengapresiasi sejumlah elite politik yang akhir-akhir ini ramai mewacanakan anti-politik identitas di momentum politik 2024. Namun demikian, sebenarnya kita membutuhkan komitmen berikut pembuktian, bukan hanya sekadar wacana yang melangit, namun jauh dari bumi tempat kita berpijak.
Dengan kata lain, dalam pada waktu mendekati momentum politik 2024, kita membutuhkan komitmen –untuk tidak menggunakan politik identitas– yang bersumber dari kehendak otonom masing-masing, yakni kehendak yang bersumber dari kesadaran moral yang meletakkan persatuan dan kerukunan sebagai sesuatu yang sangat penting bagi keberlanjutan Indonesia. Bukan karena heteremoni politik (kesadaran palsu) yang dilakukan hanya untuk menggaet simpati publik atau pemilih.
Selain itu, sebagai langkah pencegahan, juga penting bagi publik untuk melakukan inokulasi politik, yakni melakukan penyuntikan vaksin rasionaslitas ke dalam diri agar tidak mudah terpengaruhi oleh perkembangan politik identitas yang mungkin, akan sangat menjamur di media sosial. Dengan begitu, Pilpres 2024 akan terselamatkan dari perpecahan politik, dan fragmentasi sosial yang mengancam.
Pilpres 2024 hanyalah alat untuk memcapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan bermartabat. Karena itu, setiap langkah dari prosesi Pilpres 2024 jangan sampai merusak kohesi dan harmoni kebangsaan yang kita punya. Jika kekuasaan politik bukanlah segala-galanya, maka persatuan dan kerukunan kebangsaanlah yang segala-galanya. Oleh sebab itu, stop politisasi SARA, dan utamakan politik jalan damai yang mengedepankan akal dan pikiran.