Ridho Rahmadi, Ketua Partai Ummat, tiba-tiba dengan lantang menyebut akan menjadikan masjid sebagai sarana kampanye politik di tahun 2024 nanti. Pernyataan Rahmadi ini mengingatkan kita pada pernyataan serupa pada tahun 2019 lalu. Kala itu, yang menyatakan ialah seorang Amien Rais yang waktu itu masih anggota Partai Amanat Nasional (PAN).
Kini, pernyataan kontroversial itu kembali digaungkan oleh Rahmadi yang merupakan menantu Amien Rais dan Ketua Umum Partai Ummat, partai yang didirikan oleh mertuanya tersebut. Di satu sisi, pernyataan Rahmadi yang ingin menjadikan masjid sebagai arena kampanye politik ini merupakan anomali demokrasi.
Demokrasi memang memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi individu untuk mengekspresikan pendapatnya di muka umum. Sayangnya, opini Rahmadi tersebut justru mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri. Terlebih, pernyataan itu disampaikan di forum Rakernas Partai Ummat. Maka, bisa disimpulkan pernyataan itu merupakan sikap resmi partai.
Di sisi lain, pernyataan itu tidak lain merupakan bentuk provokasi yang berbahaya. Menjadikan masjid sebagai arena kampanye tidak saja menodai sakralitasnya sebagai rumah ibadah. Lebih dari itu, berpolitik di dalam masjid ialah praktik politik kotor yang destruktif alias berpotensi merusak kohesi sosial masyarakat.
Problem Sosial yang Dilatari oleh Politisasi Rumah Ibadah
Ada setidaknya residu persoalan yang ditinggalkan oleh praktik politisasi masjid. Pertama, munculnya polarisasi politik di tengah umat. Polarisasi diartikan sebagai satu kondisi ketika masyarakat terbelah ke dalam dua atau lebih kelompok akibat perbedaan politik. Polarisasi ini cenderung berkonotasi negatif, lantaran kelompok yang berbeda pilihan politik dipersepsikan sebagai musuh yang harus dilawan.
Kedua, merebaknya praktik intoleransi sesama agama maupun antar-kelompok agama yang berbeda. Intoleransi adalah sikap tidak mau menerima kelompok yang berbeda karena menganggap diri dan kelompoknya sebagai paling benar dan suci. Intoleransi adalah penyakit sosial berbahaya, apalagi dalam konteks masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Ketiga, persekusi yakni tindakan intimidasi yang menjurus ke kekerasan fisik yang dilakukan satu kelompok terhadap individu atau kelompok lain karena perbedaan keyakinan atau pilihan politik. Persekusi biasanya dilakukan oleh kaum mayoritas kepada minoritas dengan tujuan mengendalikan dan mendominasi.
Ketiga residu politisasi rumah ibadah itulah yang kita saksikan selama beberapa tahun terakhir. Pasca merebaknya kampanye politik yang dilakukan di mimbar keagamaan dan rumah ibadah pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, fenomena polarisasi, intoleransi, dan persekusi mengalami eskalasi cukup mengkahwatirkan.
Setara Institute mencatat bahwa indeks toleransi nasional mengalami penurunan pasca masifnya hoaks, ujaran kebencian, dan politisasi agama yang terjadi di momen Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Menurunnya indeks persepsi toleransi nasional akibat maraknya politisasi agama dan rumah ibadah ini patut menjadi perhatian bersama. Jangan sampai, praktik politisasi rumah ibadah ini terulang kembali di Pilpres 2024.
Sinergi Bersama Melawan Politisasi Rumah Ibadah
Untuk itu, lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu serta stakeholder terkiat harus punya aturan tegas yang melarang segala bentuk kampanye dan propaganda politik di rumah ibadah. Selama ini, lembaga penyelenggara Pemilu sudah menunjukkan ketegasannya pada praktik pelanggaran kampanye. Misalnya saja penegakan hukum bagi pelaku politik uang.
Hanya saja, dalam urusan kampanye politik di rumah ibadah, lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu kerapkali kecolongan. Inilah salah satu pekerjaan rumah terberat lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu, yakni mencegah rumah ibadah menjadi ajang kampanye politik.
Di saat yang sama, kita perlu terus-menerus mengedukasi umat agar menolak segala bentuk aktivitas politik praktis di masjid. Masyarakat harus pintar mengidentifikasi dan mendeteksi gajala-gejala politisasi rumah ibadah. Di lapangan, praktik kampanye di rumah ibadah ini kerap dikamuflasekan ke dalam berbagai kegiatan, mulai dari bakti sosial, pengajian, dan sejenisnya.
Di lingkup terkecil, para pengusus masjid, takmir, atau dewan kemakmuran masjid idealnya menjaga independensinya di tahun politik ini. Jika pengurus atau takmirnya independen, kemungkinan besar masjid akan steril dari aktivitas politik praktis. Di lingkup lebih luas, umat hendaknya memiliki kesadaran penuh untuk menjaga masjid dari infiltrasi politik praktis. Disinilah pentingnya memperkuat edukasi dan literasi politik. Umat beragama dengan literasi politik yang kuat niscaya tidak akan memilih parpol atau calon pemimpin yang menjadikan rumah ibadah sebagai arena kampanye.
Terakhir, kita tentu menghimbau para elite politik untuk tidak mengeluarkan pernyataan provokatif. Apalagi menyatakan ingin menjadikan masjid sebagai arena berpolitik. Menjadikan masjid sebagai arena politik ialah bentuk kefrustasian. Frustasi karena minimnya ide dan gagasan yang ditawarkan ke publik sebagai semacam nilai jual partai ke konstituen. Selain itu, mempolitisasi masjid pada dasarnya justru menghina agama itu sendiri. Sakralitas agama pun rusak oleh ulah segelintir oknum yang tidak paham etika politik.
Sebagai bangsa yang majemuk, kita patut berkaca dan belajar pada momen Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika rumah ibadah dijadikan arena kampanye dan ketika agama dijadikan senjata politik, maka yang muncul adalah kerusakan. Kerusakan relasi sosial akibat munculnya polarisasi, intoleransi, dan persekusi.