Secara kalkulasi politik, masjid (rumah ibadah) sangat potensial dijadikan sebagai tempat kampanye terselubung dengan memanfaatkan mimbar agama yang ada. Pengalaman kita dalam beberapa kali menyelenggarakan Pemilu pasca Reformasi membenarkan asumsi atau hipotesis di atas.
Pada umumnya, politisasi rumah ibadah itu dilakukan oleh sejumlah tokoh agama yang secara elektoral dekat atau berpihak pada salah satu calon presiden (capres) ataupun calon legislatif (caleg). Adapun cara penyampaiannya, biasanya dilakukan secara samar-samar dengan balutan-balutan dalil agama seperti ayat Al-Quran.
Di satu sisi, tampak tak ada persoalan dengan politisasi rumah ibadah yang dilakukan oleh sejumlah tokoh agama di mimbar masjid. Sebab, sebagai individu politik, tokoh agama juga memiliki hak untuk ikut mengkampanyekan tokoh politik (capres/caleg) yang didukung.
Akan tetapi, di sisi lain, jika kita melihat politisasi rumah ibadah itu lebih jauh, politisasi rumah ibadah itu sangatlah problematik. Sebab, dengan menjadikan rumah ibadah sebagai tempat kampanye terselubung, hal itu sangat mungkin akan memicu terjadinya ketegangan sosial di masyarakat akar rumput.
Hal itu sangat mungkin terjadi sebab, pilihan politik masyarakat yang hadir dalam rumah ibadah, umumnya memiliki pilihan politik yang berbeda-beda. Yang jika pilihan mereka dinarasikan sebagai tokoh-tokoh politik yang kurang bertanggungjawab dll. jelas akan menimbulkan ketegangan antar-sesama pendukung yang hadir dalam forum masjid.
Stop Politisasi Rumah Ibadah sebagai Tempat Kampanye Terselubung
Karena itu, potensi adanya politisasi rumah ibadah sebagai tempat kampanye terselubung dalam Pilpres 2024 itu harus dicegah dan distop guna menghindari ketegangan sosial di masyarakat. Beberapa hal yang bisa dilakukan guna mencegah politisasi rumah ibadah sebagai tempat kampanye terselubung itu, salah satunya dengan cara membuat kesepakatan sesama jemaah masjid untuk tidak membawa kontestasi politik elektoral ke mimbar masjid.
Artinya, di tengah panasnya kontestasi politik elektoral, rumah ibadah seperti masjid harus tetap difungsikan sebagai sarana ibadah yang bersih. Bukan dijadikan sebagai tempat untuk mengkampanyekan capres atau caleg yang kita dukung dalam perhelatan Pilpres dan Pileg 2024. Membahas politik di mimbar agama bukanlah hal terlarang atau haram. Akan tetapi, pembahasan (tentang) politik yang disampaikan di mimbar masjid harus bersifat netral dan tidak memihak.
Artinya, meski harus membahas tema politik, tetapi materi yang disampaikan tidak boleh condong dan berpihak pada capres atau caleg tertentu. Tetapi cukup membahasnya secara umum seperti bagaimana berpolitik yang benar menurut ajaran Islam. Dengan begitu, pembahasan dunia politik di masjid tidak sampai menimbulkan disintegrasi dan disharmoni.
Kesadaran Tokoh Agama
Selain itu, tokoh agama—sebagai individu yang berpotensi besar melakukan politisasi rumah ibadah sebagai tempat kampanye terselubung, juga harus memiliki kesadaran penuh akan bahaya politisasi rumah ibadah sebagai tempat kampanye terselubung itu
Meski secara individu seorang tokoh agama memiliki hak politik, tapi tokoh agama harus menyadari bahwa pilihan politiknya sebagai individu tidak boleh di bawa ke mimbar agama. Sebab, hal itu sangat berpotensi menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat.
Karena itu, setiap tokoh agama yang tindak-tanduknya diperhatikan oleh banyak orang, harus menyadari bahaya membawa kontestasi politik elektoral ke atas mimbar masjid tersebut. Harapannya, tokoh agama tidak lagi menjadikan mimbar masjid sebagai tempat kampanye terselubung. Sehingga, tak ada konflik dan perpecahan yang harus kita ditanggung.