Tahun 2024 merupakan tahun Politik Pemilu sebagai ruang kontestasi politik serentak. Nuansa kontestasi sudah mulai terasa pada tahun ini. Berbagai manuver partai politik dan calon pemimpin sudah dijalankan. Namun, satu hal yang perlu diingatkan bahwa kepentingan politik praktis jangan sampai merusak kebhinekaan dan persatuan masyarakat melalui permainan politik identitas.
Negara Indonesia memiliki keragaman yang sangat luar biasa dari etnik, suku, bahasa, dan agama. Keanekaragaman tersebut merupakan suatu kekuatan, tetapi juga menyimpan potensi konflik yang besar. Ketika perbedaan dikapitalisasi dalam kepentingan politik, keragaman akan semakin menguat dan persatuan akan semakin melemah.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua merupakan paradigma bangsa selama ini dalam menjaga keragaman. Ketika politik identitas menguat dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial di tengah masyarakat. Masyarakat akan dikotakkan dalam ruang kepentingan berdasarkan primordialnya.
Sejatinya iklim demokrasi Indonesia pasca Reformasi telah memberikan harapan yang tinggi. Ruang kebebasan dibuka dan keragaman masyarakat dilindungi dalam bingkai persatuan bangsa. Sayangnya, politik elektoral kita semakin mengarah pada pemanfaatan politik identitas untuk mencapai tujuan politik sesaat.
Bangsa ini pernah mengalami pahitnya politik identitas yang benar-benar membelah masyarakat. Pada Tahun 2017 ketika perhelatan Pemilihan Gubernur DKI, kerasnya politik identitas seolah membuat masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang berlawanan. Isu yang kentara dimainkan bukan tentang visi dan misi calon pemimpin, tetapi identitas primordial seorang calon.
Narasi Pilgub DKI 2017 sudah melampaui batas keadaban bangsa ini. Pertarungan politik dibawa dalam ruang rumah ibadah dan narasi agama kerap menjadi justifikasi untuk memenangkan dan mengalahkan calon.
Kejadian itu berlanjut pada Pemilu 2019. Narasi politik identitas seolah menjadi pembenaran untuk meraih kemenangan. Kondisi di DKI diupayakan diperluas kembali dalam spektrum Pemilu. Pertarungan politik tidak lagi dimaknai sebagai pertarungan politik, tetapi pertarungan identitas yang berbeda.
Lihatlah bagaimana bingkai isu dalam Pemilu 2019 yang kuat dengan nuansa politik identitas. Lahirnya narasi Partai Tuhan, Perang Badar, pelarangan adzan dan narasi-narasi keagamaan lainnya lebih berisik daripada pertarungan ide dan gagasan.
Tentu saja, pertentangan antara kedua kubu tersebut tidak hanya pertentangan yang selesai setelah perhelatan politik, tetapi seakan melahirkan dendam politik yang tidak berkesudahan. Ancaman politik identitas adalah berpotensi memecahbelah dan mengancam stabilitas negara dan persatuan masyarakat.
Dalam politik identitas seolah beragama dan bernegara kembali dibenturkan. Persoalan agama dibawa kembali dalam ruang pertarungan. Indonesia seolah dibawa kembali dalam perdebatan lama antara nasionalis dan relijius. Masyarakat dibelah dalam narasi yang sesungguhnya tidak tepat untuk selalu dipertentangkan.
Antara nasionalisme dan agama bukan sesuatu yang bertentangan. K.H Hasyim Asy’ari pernah dawuh bahwa, “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.”
Agama tidak boleh menjadi alat untuk melemahkan nasionalisme. Begitu pula nasionalisme bukan alasan untuk melemahkan semangat keagamaan. Keduanya tidak bisa dibenturkan. Politik identitas sejatinya ingin membenturkan dengan dalil tidak memisahkan agama dari politik.
Sungguh hanya orang dan kelompok yang berwatak kerdil yang hanya memanfaatkan momentum politik untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk politisasi identitas. Inilah kelompok yang hanya mementingkan kepentingan politik sesaat dari pada kepentingan nasional ke depan.
Bahaya politik identitas telah menjadi bencana bagi pembelahan masyarakat. Politik identitas merupakan praktek politik yang haram di tengah kebhinekaan masyarakat Indonesia.