Membincangkan sepak terjang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua seolah tidak ada habisnya. Kelompok yang identik dengan tindakan keji, brutal, dan kejam ini tidak berhenti menebar teror. Termutakhir, kelompok yang kini secara resmi dilabeli teroris oleh pemerintah ini membakar pesawat Susi Air dan menyandera sang pilot.
Pilot bernama Philip Max Hartens yang berkewarganegaraan Silandia Baru itu disandera oleh teroris KKB sejak 7 Februari 2023 lalu. Tempo hari, muncul video rekaman yang memperlihatkan Kapten Philip bersama para teroris KKB. Di dalam video singkat itu, teroris KKB mengajukan syarat pembebasan sandera yakni pengakuan terhadap gerakan Papua merdeka.
Jika ditelisik lebih lanjut, KKB di Papua yang mengusung gerakan kemerdekaan ini tidak mirip seperti kelompok separatis. Melainkan lebih seperti gerombolan kriminal yang gemar melakukan tindakan keji p pada masyarakat sipil. Asumsi itu tentu bukan tanpa dasar. Selama ini, target kekerasan teroris KKB mayoritas ialah warga sipil tak berdosa dan tidak ada hubungannya dengan isu separatisme atau gerakan kemerdekaan Papua.
Misalnya saja, pada Oktober 2022 lalu, belasan pekerja proyek jalan Trans Papua ditembaki teroris KKB. Empat di antaranya tewas. Sebelumnya, pada bulan Februari 2022 sebanyak 8 pekerja pembangunan tower BTS juga ditewas dibantai teroris KKB. Lalu pada November 2022 teroris KKB menyerang 4 pekerja yang tengah membangun Puskemas.
Setahun sebelumnya, tepatnya pada September 2021, seorang tenaga kesehatan perempuan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual sebelum akhirnya dibunuh oleh teroris KBB. Tidak hanya itu, teroris KKB juga kerap menjadikan anak-anak dan perempuan warga sipil sebagai sandera dan tameng hidup ketika dilumpuhkan oleh TNI.
KKB Papua dan Fenomena Banalitas Kekerasan
Sepak terjang KKB ini menggambarkan bagaimana brutalnya mereka. Dalam istilah Hannah Arendt, rekam jejak KKB selama ini merupakan wujud dari banalitas kekerasan. Yakni praktik kekerasan keji dan sadis dimana pelakunya tidak merasa bersalah sedikit pun atau seolah sudah mati rasa atas apa yang dilakukannya. Banalitas kekerasan ini menurut Arendt terjadi karena pelakunya kehilangan nurani atau terlalu patuh pada doktrin atau ideologi tertentu.
Istilah banalitas kekerasan ini muncul dalam konteks pembantaian warga Yahudi di Eropa oleh tentara Nazi, Jerman. Dalam konteks pembantaian umat Yahudi oleh Nazi, munculnya banalitas kekerasan itu dilatari oleh keyakinan bahwa komunitas Yahudi adalah ras rendah yang harus dimusnahkan dari muka bumi. Sedangkan dalam konteks KKB Papua, banalitas kekerasan itu muncul karena imajinasi politik yang menghendaki pemisahan wilayah Papua dari pemerintahan NKRI yang sah.
Ideologi separatisme yang berkelindan dengan banalitas kekerasan ini menghadirkan ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya ialah terjadinya praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Dalam hal ini, korban utama dari tindakan pelanggaran HAM itu tidak lain ialah masyarakat sipil yang tidak berdosa dan tidak menjadi bagian dari konflik separatis tersebut.
Teroris KKB Mengancam HAM Warga Sipil
Ironisnya, selama ini justru banyak para pegiat isu HAM yang secara eksplisit kerap berada di barisan pembela teroris KKB Papua. Mereka, para pegiat isu HAM itu kerap menuding pemeritah, terutama TNI dan Polri melakukan pelanggaran HAM terhadap KKB Papua. Argumen ini jelas manipulatif dan berpotensi menyesatkan opini publik.
Tindakan hukum dan aksi militer yang dilakukan oleh Polri dan TNI terhadap teroris KKB merupakan respons logis atas tindakan mereka yang mengancam keamanan sipil dan ketahanan negara. Aksi brutal dan kejam teroris KKB ialah ancaman nyata bagi keamanan masyarakat. Terlebih, ideologi separatisme yang diusungnya juga berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara.
Dalam kondisi yang demikian ini, tindakan TNI dan Polti tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM. Justru, apa yang dilakukan oleh TNI dan Polri itu merupakan bagian dari upaya penegakan HAM bagi warga sipil di Papua. Sebagai aparat keamanan, TNI dan Polri memiliki kewenangan untuk memberangus kelompok teroris atau separatis seperti KKB di Papua tersebut.
Kasus penyanderaan Pilot Susi Air yang dijadikan sebagai alat tawar untuk meraih kemerdekaan oleh teroris KKB ialah persoalan serius. Pemerintah tentu harus mengambil sikap tegas. Secara konstitusional, haram hukumnya pemeritah bernegosiasi apalagi mengabulkan tuntutan tidak masuk akal kelompok separatis. Tidak ada ruang bagi kelompok teroris-separatis di negeri ini.
Alih-alih bernegosisasi dengan teroris KKB, pemerintah idealnya fokus melindungi keamanan dan menegakkan HAM bagi masyarakat sipil. Teroris KKB tidak mewakili masyarakat Papua secara keseluruhan. Bahkan, dalam banyak hal keberadaan teroris KKB telah menjadi duri dalam daging yang mengganggu kehidupan warga sipil Papua.