Judul tersebut sebagai bentuk salah satu pertanyaan penting dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mendapatkan porsi besar di berbagai media. LSI baru-baru ini merilis hasil survei yang penting sekali terkait dukungan publik terhadap kekerasan ekstrem (KE) dan intoleransi dalam bingkai kehidupan beragama di Indonesia. Beberapa hasil memang sungguh mengejutkan dan mengkhawatirkan yang perlu mendapatkan tanggapan serius.
Dalam pengantarnya, LSI menyebutkan potensi penyebaran radikalisme dan KE masih terjadi. Memang BNPT pada akhir tahun lalu menyebutkan potensi radikalisme dan terorisme menurun. Indeks Potensi Radikalisme pada tahun 2022 sebesar 10 persen atau turun 2,2 persen dari 12 persen pada tahun 2020. Dalam rilis survei BNPT itu juga disebutkan bahwa indeks potensi radikalisme lebih tinggi pada Wanita, generasi muda dan mereka yang aktif di internet.
Bagaimana dengan hasil rilis survei LSI? Survei nasional yang dilakukan LSI ini dilakukan pada 16-29 Mei 2022 dengan sampel seluruh warga Indonesia berusia 17 tahun ke atas dan telah menikah sebanyak 1.550 responden yang dipilih secara acak.
Secara umum dalam tiga tahun terakhir sikap toleransi masyarakat Indonesia menunjukkan tingkat semakin tinggi termasuk dalam menolak kekerasan ekstrem. Tampaknya survei ini juga memiliki kesamaan temuan dengan survei BNPT yang menegaskan bahwa di kalangan anak muda sebagai pengguna media sosial aktif ternyata memiliki kecenderungan intoleransi yang lebih tinggi.
Dalam hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa dukungan pada KE lebih tinggi pada kelompok umur lebih muda (di bawah 40 tahun). Peta sebaran wilayah yang cukup tinggi dukungan terhadap KE meliputi Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan wilayah lainnya.
Ihwal Membela Agama dan Ormas Keagamaan : Akankah Mendorong Kekerasan Ekstrem?
Ada empat pertanyaan kunci yang menarik disimak dalam survei tersebut. Walaupun, memang harus diakui yang ramai muncul di berbagai media satu hal yang menonjol seputar ikut berperang di negara lain untuk membela agama. Namun, secara umum jika kita lihat persoalan pembelaan agama dan ormas keagamaan ini menjadi salah satu poin penting terkait intoleransi dan KE.
Pertanyaan kesediaan ikut berperang di negara lain untuk membela agama yang dianiaya memang cukup tinggi sangat setuju 5 persen, setuju 31 persen, tidak setuju 43 persen. Artinya, kemauan masyarakat Indonesia untuk membela agamanya yang dianggap dianiaya di luar negeri cukup tinggi.
Pertanyaan ini sebenarnya apabila ditangkap dalam konteks semisal propaganda ISIS di luar negeri yang menggambarkan umat Islam teraniaya dan butuh dukungan umat Islam akan sangat potensial disalahgunakan. Antusiasme pembelaan ke luar negeri jika dieksploitasi oleh organisasi ekstrem dan teror akan sangat berbahaya. Pembelaan agama memang penting, tetapi jika tidak dibarengi oleh kecerdasan informasi dan pengetahuan yang memadai akan cenderung dieksploitasi kelompok kepentingan dalam bentuk yang menyalahi norma agama itu sendiri.
Pertanyaan kedua terkait melakukan pembalasan terhadap anggota kelompok yang menyerang agama. Hasilnya masih rendah dengan 2 persen sangat setuju, 13 persen setuju dan 65 persen tidak setuju. Artinya, koridor hukum menjadi pilihan masyarakat secara dominan dalam kasus penyerangan agama.
Namun, penting diingat bahwa motif balas dendam menjadi salah satu motif yang tinggi dalam aksi terorisme di Indonesia. Hasil riset tahun 2012 oleh INSEP terhadap narapidana terorisme di Indonesia menyebutkan motivasi balas dendam sebesar 10,9 persen. Hampir sama dengan irisan balas dendam adalah solidaritas komunal sebesar 20 persen yang menyebutkan aksi teror sebagai bagian dari pembelaan terhadap kelompok agamanya yang dianaya.
Apa yang ingin ditegaskan di sini bahwa terkadang perasaan balas dendam dan solidaritas terhadap kelompok keagamaan dieskploitasi oleh kelompok kekerasan ekstrem dan teror sebagai propaganda merekrut masyarakat dalam melakukan aksi kekerasan. Indoktrinasi bahwa pembelaan agama dan balas dendam atas nama seringkali dijadikan justifikasi dalam aksi kekerasan dan teror.
Pertanyaan ketiga yang lebih menarik adalah mendukung organisasi yang memperjuangkan agama walaupun terkadang organisasi tersebut melanggar hukum. Hasilnya adalah 2 persen sangat setuju, 10 persen setuju dan 64 persen tidak setuju. Memang masih sangat sedikit, tetapi hal ini tentu menjadi perhatian serius karena masih ada masyarakat yang berkeinginan membela organisasinya walaupun diaggap melanggar hukum.
Poin tersebut jika dibandingkan dengan pertanyaan berikutnya tentang mendukung organisasi yang memperjuangkan agama meskipun organisasi tersebut terkadang menggunakan kekerasan. Hasilnya memang lebih sedikit dari pertanyaan sebelumnya. 1 persen sangat setuju, 6 persen setuju dan 68 persen tidak setuju.
Dalam konteks inilah sebenarnya perasaan membela organisasi yang dianggap membela agama masih mendapatkan pembelaan masyarakat walaupun organisasi tersebut melanggar hukum dan menggunakan kekerasan. Artinya, jika ada organisasi yang mengatasnamakan agama dan itu melanggar hukum dan menganjurkan kekerasan masih ada orang yang bersimpati yang membelanya walaupun sedikit.
Mengatasi Kekerasan dengan Menguatkan Toleransi
Dalam tema survei berikutnya terkait tentang Organisasi Kekerasan Ekstrem (OKE) yang juga sangat menarik disimak. Namun, saya kira hal penting yang patut diambil pelajaran penting dari hasil rilis tersebut adalah relasi antara intoleransi dan kekerasan. Terlepas dari kredebilitas dan validitas survei yang banyak diperdebatkan, namun hasil ini tentu bukan hasil yang ecek-ecek yang perlu diabaikan.
Temuan LSI sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hasil temuan lembaga riset lain yang konsen terhadap toleransi dan kehidupan beragama termasuk dengan riset BNPT. Bagaimanapun harus diakui bahwa intoleransi sebagaimana dalam temuan LSI memang cenderung meningkatkan dukungan terhadap KE. Umat beragama yang intoleran cenderung lebih mendukung kekerasan terhadap mereka yang dibenci dalam kacamata perbedaan. Begitu pula mereka yang intoleran akan lebih cenderung mendukung terhadap OKE.
Pelajaran penting di sini adalah persoalan penanaman toleransi dan pembiasaan interaksi masyarakat dalam keragaman. Masyarakat yang toleran dan terbiasa dengan perbedaan akan memiliki imunitas yang lebih tinggi dari pengaruh isu dan narasi pembelahan berdasarkan agama. Mereka akan lebih imun terhadap narasi yang mengajak kekerasan atas nama agama.
Kata kunci yang sering disosialisasikan oleh BNPT bahwa intoleransi merupakan tangga awal menuju terorisme harus menjadi pengetahuan bersama. Persoalan aksi teror bukan sekedar aksi kekerasan yang terjadi instan tetapi melalui proses radikalisasi seseorang dalam mengadopsi pandangan ekstrem. Adopsi pemahaman yang ekstrem itu sangat rentan dicerna oleh individu yang intoleran.
Karena itulah, mengarusutamakan narasi dan praktek toleransi di tengah masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari menanggulangi kekerasan ekstrem dan teror.