Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

- in Narasi
2
0
Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang kaya. Ajaran Islam yang masuk ke Nusantara tidak hanya beradaptasi dengan kondisi sosial dan budaya setempat, tetapi juga menyatu dengan kebiasaan lokal yang sudah ada sebelumnya.

Dakwah Islam di Indonesia selama ini dilakukan dengan pendekatan yang ramah, inklusif, dan merangkul berbagai elemen masyarakat. Namun, di tengah arus dakwah transnasional yang semakin kuat, gerakan pemurnian agama seperti Salafisme dan Wahabisme menuntut kembali kepada praktik Islam yang dianggap lebih ‘murni’ dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, yaitu mengikuti jejak salafush shalih atau generasi awal umat Islam.

Gerakan pemurnian agama ini seringkali menekankan pentingnya kembali ke akar Islam yang ‘asli’, dengan menolak tradisi lokal yang dianggap sebagai bid’ah atau inovasi yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Penolakan ini berpotensi menciptakan ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat, terutama di daerah-daerah yang memiliki tradisi Islam yang sudah lama berkembang. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa dakwah yang merangkul adalah jalan yang lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan dakwah transnasional ini, sekaligus menjaga keberagaman dan kekhasan ajaran Islam di Nusantara.

Salah satu contoh perdebatan yang mencuat akibat masuknya dakwah transnasional adalah perdebatan mengenai tradisi tahlilan dan ziarah kubur. Tahlilan, yang merupakan tradisi doa bersama yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, seringkali dianggap oleh kelompok yang terpengaruh oleh gerakan Salafisme atau Wahabisme sebagai sebuah bid’ah. Mereka beranggapan bahwa doa untuk orang yang telah meninggal dengan cara seperti itu tidak ada dalam ajaran Nabi Muhammad dan hanya merupakan inovasi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang murni.

Namun, bagi banyak umat Islam di Indonesia, tahlilan bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga bagian dari cara untuk menjaga ikatan sosial dan mempererat persaudaraan dalam masyarakat. Tahlilan menjadi sarana untuk mendoakan arwah keluarga dan kerabat yang telah meninggal serta mengingatkan diri akan kematian sebagai bagian dari perjalanan hidup. Begitu juga dengan ziarah kubur, yang bagi sebagian orang merupakan cara untuk mendoakan dan menghormati orang yang telah wafat, sekaligus sebagai pengingat akan hakikat kehidupan dan kematian. Penolakan terhadap tradisi lokal ini bisa berujung pada pengucilan sosial dan perdebatan yang tak berujung, bahkan di dunia maya.

Di sinilah pentingnya dakwah yang merangkul, bukan memukul. Dakwah yang memukul akan semakin memperburuk ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat, sedangkan dakwah yang merangkul akan lebih menghargai keragaman dan memperkuat ikatan sosial antar umat. Dakwah yang inklusif dan penuh kasih sayang adalah jalan yang lebih efektif dalam menjaga keharmonisan umat Islam di Indonesia.

Selain itu, gerakan Salafisme dan Wahabisme juga sering menolak seni dan budaya Islami lokal yang telah berkembang di Nusantara. Misalnya, seni musik dan tari yang memiliki nuansa Islami seperti kasidah dan tari Sufi, seringkali dianggap tidak Islami oleh sebagian kelompok yang mengikuti gerakan pemurnian agama ini. Bagi mereka, seni dan budaya yang berkembang di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sejati.

Padahal, dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, seni dan budaya tradisional memainkan peran penting dalam menyebarkan syiar Islam. Walisongo, para penyebar Islam di Jawa, menggunakan seni seperti gamelan, wayang, dan seni tari untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakat. Seni dan budaya menjadi alat yang efektif untuk memperkenalkan ajaran Islam dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat setempat.

Penolakan terhadap seni dan budaya lokal ini bisa menciptakan gesekan dengan komunitas yang melestarikan seni Islami tradisional. Sebagai contoh, komunitas pengamal kasidah dan seni tari Islami sering kali merasakan tekanan dari kelompok yang berpegang pada dakwah Salafi/Wahabi. Mereka dipandang sebagai pengikut budaya yang ‘tidak Islami’, meskipun seni tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Islam Nusantara.

Jika dakwah yang diusung oleh kelompok transnasional hanya berfokus pada pemurnian ajaran agama tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan kebudayaan setempat, maka mereka akan mengabaikan keindahan keragaman budaya yang sudah terjalin lama di Indonesia. Sebaliknya, dakwah yang merangkul, yang menghargai tradisi lokal dan budaya setempat, akan membantu memperkuat syiar Islam di Nusantara dan menjaga warisan budaya yang telah ada.

Dalam menghadapi arus dakwah transnasional, peran ulama lokal atau kyai sangat penting. Kyai, sebagai pemimpin agama dan tokoh masyarakat, memiliki tanggung jawab untuk merawat kemurnian agama Islam di Indonesia sekaligus menjaga kekhasan ajaran Islam Nusantara. Mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia, serta mampu mengkomunikasikan ajaran Islam dengan cara yang mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.

Ulama lokal juga memiliki peran dalam menjaga tradisi-tradisi Islam yang sudah ada di masyarakat, seperti tahlilan, ziarah kubur, dan seni Islami tradisional. Mereka dapat menjadi jembatan antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi lokal yang berkembang. Dakwah yang merangkul akan lebih dapat diterima oleh masyarakat karena ulama lokal dapat mengadaptasi ajaran Islam tanpa menghapus tradisi yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Dakwah yang merangkul, bukan memukul, adalah pendekatan yang lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan dakwah transnasional dan gerakan pemurnian agama yang menganggap tradisi lokal sebagai bid’ah. Indonesia yang kaya akan kebudayaan dan tradisi, dakwah yang inklusif dan ramah akan lebih efektif dalam menjaga keharmonisan umat Islam.

Perdebatan tentang tahlilan, ziarah kubur, dan seni budaya Islami lokal harus diselesaikan dengan dialog yang membangun, bukan dengan cara yang memecah belah. Peran ulama lokal sangat penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam serta melestarikan kekhasan Islam Nusantara. Dengan cara ini, dakwah dapat terus berkembang dan membawa keberkahan bagi umat Islam di Indonesia.

Facebook Comments