Pada peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli mendatang, kita diingatkan akan pentingnya merawat dan menjaga fitrah anak-anak, yang merupakan anugerah murni penuh potensi. Fitrah ini adalah dasar dari tumbuh kembang anak yang sehat, baik secara fisik maupun mental, yang dapat berkembang di lingkungan yang penuh kasih sayang dan toleransi.
Namun, di tengah arus informasi dan ideologi yang semakin kompleks, anak-anak kita rentan terhadap ancaman besar berupa radikalisasi dan intoleransi. Kelompok-kelompok radikal teroris terus berusaha “membajak” anak-anak melalui propaganda mereka, merusak kepribadian dan masa depan anak-anak dengan ideologi yang sempit dan eksklusif. Oleh karena itu, penting bagi orang tua, pendidik, dan seluruh masyarakat untuk bersama-sama melindungi anak-anak dari bahaya yang dapat menghancurkan fitrah mereka dan merusak masa depan bangsa.
Kelompok radikal teroris, yang secara tidak langsung berusaha merekrut anak-anak untuk menjadi bagian dari agenda mereka, sering kali menargetkan anak-anak dengan definisi “anak salih” yang sangat eksklusif. Definisi ini cenderung menciptakan dikotomi yang merugikan, seperti pembagian antara sekolah-sekolah sekuler dan sekolah sunnah. Dalam pandangan kelompok radikal, anak yang belajar di sekolah-sekolah sekuler dianggap kurang bernilai dari sisi agama, sementara sekolah sunnah dipromosikan sebagai tempat yang lebih “suci” untuk melatih anak-anak agar menjadi pribadi yang taat namun sempit dalam pengertian toleransi.
Di Indonesia, situasi ini diperburuk dengan meningkatnya pandangan bahwa pendidikan agama lebih penting daripada nilai-nilai yang mengajarkan toleransi. Berdasarkan jajak pendapat King’s College London (2023), orang tua di Indonesia memang menempatkan pendidikan agama sebagai prioritas utama untuk anak-anak mereka. Namun, yang menjadi perhatian adalah bahwa dalam jajak pendapat yang sama, orang tua menganggap mengajarkan toleransi kepada anak tidak lebih penting dari pendidikan agama itu sendiri. Hal ini bisa dimaknai bahwa pemahaman tentang agama yang tidak diimbangi dengan pemahaman tentang toleransi justru menciptakan ketegangan di dalam masyarakat.
Pendidikan yang tidak sensitif terhadap nilai-nilai toleransi berpotensi membuat anak-anak kita terjebak dalam pola pikir eksklusif yang memisahkan kelompok satu dengan kelompok lainnya. Pendidikan agama yang sempit tanpa pemahaman tentang pentingnya keberagaman bisa membuka jalan bagi radikalisasi.
Seiring dengan berkembangnya zaman, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan bahwa dunia menjadi semakin terhubung melalui teknologi. Anak-anak yang mengakses internet bisa dengan mudah terpapar konten-konten ekstrem yang mengajarkan intoleransi, kebencian, dan kekerasan. Oleh karena itu, mendidik anak-anak dengan nilai-nilai toleransi dan menghargai perbedaan adalah langkah pertama yang sangat penting dalam mencegah radikalisasi.
Menurut penelitian dari UNESCO (2020), pendidikan yang menanamkan prinsip toleransi sejak dini dapat membantu anak-anak mengembangkan sikap empati, rasa hormat terhadap orang lain, serta pemahaman terhadap perbedaan. Ini adalah nilai-nilai yang sangat penting agar anak-anak kita tidak terjebak dalam jeratan ideologi radikal yang akan merusak masa depan mereka.
Melindungi fitrah anak dari benih intoleransi bukan hanya tanggung jawab sekolah atau masyarakat saja, tetapi juga orang tua. Orang tua harus mengajarkan kepada anak-anak mereka bahwa agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan menghargai sesama, tidak mengajarkan kebencian terhadap perbedaan. Namun, yang lebih penting adalah bahwa orang tua perlu menjadi teladan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain yang berbeda agama, suku, dan budaya. Sikap orang tua yang penuh kasih sayang dan penerimaan terhadap perbedaan akan sangat memengaruhi perkembangan sikap anak terhadap orang lain.
Namun, peran orang tua tidak cukup tanpa adanya dukungan dari sistem pendidikan yang lebih luas. Sekolah dan lembaga pendidikan harus menjadi tempat yang mendidik anak dengan penuh perhatian dan berdasarkan nilai-nilai inklusivitas. Pada Kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia sudah memasukkan aspek penting terkait pendidikan karakter dan kebhinnekaan yang bertujuan untuk memperkenalkan anak-anak kepada nilai-nilai toleransi. Namun, dalam prakteknya, banyak sekolah yang belum maksimal dalam mengimplementasikan aspek tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan iklim pendidikan yang ramah dan inklusif bagi semua anak.
Melindungi anak-anak kita dari intoleransi dan radikalisme adalah tanggung jawab bersama yang melibatkan orang tua, sekolah, masyarakat, dan negara. Setiap elemen ini memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan ruang yang aman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan penuh kasih sayang, toleransi, dan rasa hormat terhadap perbedaan. Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, mari kita merenungkan kembali bagaimana kita bisa melindungi masa depan anak-anak kita dari ancaman intoleransi dan radikalisasi. Hanya dengan menjaga fitrah mereka dengan baik, kita dapat memberikan mereka masa depan yang penuh harapan dan kedamaian.