Menakar Kekuatan Dakwah Transnasional dan Dakwah Nusantara

Menakar Kekuatan Dakwah Transnasional dan Dakwah Nusantara

- in Narasi
2
0
Menakar Kekuatan Dakwah Transnasional dan Dakwah Nusantara

Seiring terbukanya akses informasi global, arus dakwah transnasional masuk tanpa filter melalui media sosial, platform dakwah daring, hingga ceramah-ceramah digital. Dakwah model ini, yang berakar dari gerakan Islam politik dan puritan seperti Wahabisme, Salafisme, atau Ikhwanul Muslimin, kerap membawa semangat homogenisasi Islam dan mengabaikan konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Ciri utama dakwah transnasional adalah rigiditas dalam memahami syariat, penolakan terhadap tradisi lokal, dan sering kali disertai kritik tajam terhadap praktik keislaman yang dianggap “tidak murni”. Dampaknya, terjadi delegitimasi terhadap ulama tradisional, polarisasi umat, serta lahirnya benih-benih intoleransi dan eksklusivisme beragama.

Dakwah transnasional merupakan model dakwah yang melintasi batas negara dan identitas budaya. Ia dibawa oleh kelompok-kelompok Islam global seperti Salafi, Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan lainnya. Model ini biasanya lebih tekstual dalam memahami agama, dengan semangat purifikasi (pemurnian) ajaran dan politik identitas Islam yang kuat.

Kelompok ini unggul dalam penggunaan media digital, jaringan global, dan kaderisasi yang intensif dan terstruktur. Mereka menawarkan narasi Islam yang “murni”, “otentik”, dan seringkali dikaitkan dengan simbol perjuangan melawan ketidakadilan dan Barat. Dakwah ini mampu menarik simpati lewat isu Palestina, Suriah, atau konflik-konflik global yang dikemas sebagai panggilan jihad kemanusiaan.

Sementara itu, dakwah Nusantara bukan sekadar metode penyampaian ajaran Islam, melainkan sebuah warisan peradaban. Buktinya, Wali Songo berhasil menyisipkan nilai-nilai Islam dalam seni, tradisi, dan budaya lokal. Akulturasi ini menghasilkan Islam yang santun, inklusif, dan bersahabat dengan kebhinekaan. Islam di Indonesia tumbuh dalam pelukan tradisi pesantren, tahlilan, maulidan, serta semangat gotong royong dan toleransi yang hidup di tengah masyarakat majemuk.

Model ini telah terbukti mampu menjaga harmoni sosial, memperkuat identitas keislaman tanpa mencederai kebangsaan. Dakwah Nusantara tidak memaksakan simbol-simbol Arabisasi, tetapi justru memperlihatkan bagaimana Islam bisa menyatu tanpa meniadakan kearifan lokal.

Dakwah Nusantara adalah wajah Islam Indonesia yang otentik, berakar kuat dalam tradisi, namun tetap terbuka terhadap kemajuan zaman. Di tengah infiltrasi dakwah transnasional yang membawa narasi sempit dan eksklusif, menjaga dakwah Nusantara berarti menjaga keberagaman, kebangsaan, dan masa depan Islam yang damai di tanah air.

Dakwah Nusantara mampu meresap dalam kehidupan masyarakat karena menggunakan simbol-simbol yang akrab, seperti selamatan, tahlilan, maulid, dan tembang-tembang tradisional. Pesantren, majelis taklim, dan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah menjadi penopang utama dalam menjaga kontinuitas dan kekuatan dakwah ini. Karena, dakwah Nusantara menekankan wasathiyah (tengah-tengah), dengan semangat cinta tanah air dan penghormatan terhadap keragaman sebagai bagian dari nilai Islam.

Namun, tantangan dakwah Nusantara adalah adaptasi terhadap perubahan zaman, terutama dalam hal digitalisasi dakwah dan narasi keagamaan yang cepat berubah melalui media sosial. Akan tetapi, model dakwah nusantara ini tidak hanya soal penyampaian ajaran, tetapi tentang membangun peradaban. Dan peradaban Islam Nusantara adalah peradaban yang menghargai perbedaan, menjunjung tradisi, dan membingkai Islam dalam keindahan budaya.

Facebook Comments