Peringatan Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan lomba mewarnai atau parade budaya. Ia adalah momen reflektif, sekaligus titik tolak untuk menatap masa depan bangsa melalui mata dan harapan anak-anak. Dalam bayangan Indonesia Emas 2045—saat negara ini genap berusia satu abad—anak-anak hari ini akan menjadi pemimpin, pengambil kebijakan, pembuat perubahan. Namun pertanyaan besarnya adalah: masa depan seperti apa yang sedang kita wariskan kepada mereka? Apakah masa depan yang penuh persatuan, atau justru ruang hidup yang tercemari oleh virus intoleransi?
Di tengah semaraknya perayaan Hari Anak, kita mesti jujur bahwa generasi muda kita sedang menghadapi ancaman virus intoleransi. Ia menyusup secara halus melalui percakapan tayangan digital dan hingga konten agama yang mengandung kebencian. Ia merayap dalam materi pelajaran yang tidak inklusif, bercokol dalam media sosial, bahkan ditransmisikan secara turun-temurun melalui pola pikir yang melihat “yang berbeda” sebagai ancaman.
Di banyak tempat, anak-anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang membatasi pergaulan lintas keyakinan, menanamkan stigma terhadap pemeluk agama lain, atau memaknai perbedaan sebagai sesuatu yang harus dijauhi dan dimusnahkan, bukan dipahami. Lebih parah lagi, tak sedikit dari mereka yang sudah terpapar ujaran kebencian bahkan sebelum bisa membedakan antara kebenaran dan bias. Intoleransi bukan lagi sekadar isu elite atau urban, melainkan penyakit sosial yang bisa menjangkiti siapa saja—termasuk anak-anak kita.
Padahal, anak-anak sejatinya lahir dalam keadaan suci: mereka tidak mengenal kebencian, tidak mempersoalkan warna kulit, tidak mempertanyakan Tuhan siapa yang disembah oleh temannya. Mereka belajar semua itu dari lingkungannya. Maka jika hari ini kita melihat ada anak yang menolak berteman karena beda agama, yang enggan menyapa karena beda etnis, atau yang mengolok karena beda budaya, maka bukan mereka yang bersalah. Tapi kitalah yang telah gagal memberi teladan dan ruang tumbuh yang sehat bagi mereka.
Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud hanya dengan bonus demografi atau ledakan teknologi yang kini sedang berlangsung. Ia hanya akan tercapai bila generasi mudanya tumbuh dalam atmosfer toleransi, dialog, dan keterbukaan. Kita tidak sedang berlomba mencetak anak-anak cerdas secara kognitif semata, tetapi juga anak-anak yang tangguh secara sosial dan spiritual—yang mampu hidup berdampingan dalam perbedaan tanpa kehilangan jati diri.
Perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 masih panjang, tapi waktu terus berjalan. Apa yang kita tanam hari ini akan menentukan hasil yang kita tuai nanti. Jika kita gagal menjaga anak-anak dari paparan intoleransi, maka kita sedang menciptakan generasi yang mudah terprovokasi dan rentan terpecah belah. Sebaliknya, jika kita berhasil menanamkan nilai-nilai toleransi, maka kita sedang membangun fondasi bangsa yang kuat, inklusif, dan damai.
Karena itu, Hari Anak Nasional harus menjadi momentum untuk mempertegas komitmen kita dalam menciptakan lingkungan yang sehat secara sosial dan spiritual bagi anak-anak. Kita tidak hanya sedang mendidik anak-anak untuk lulus ujian sekolah, tapi juga sedang membekali mereka agar lulus sebagai warga dunia yang beretika dan berperikemanusiaan.
Indonesia tak bisa bertumpu hanya pada kekayaan alam atau kecanggihan teknologi yang kini berkembang pesat. Aset terbesar kita adalah generasi muda. Maka, menjaga anak-anak dari virus intoleransi bukan hanya soal menyelamatkan individu, tetapi tentang menyelamatkan masa depan bangsa. Menuju Indonesia Emas 2045, mari kita pastikan anak-anak tumbuh dalam cahaya persaudaraan, bukan dalam bayang-bayang kebencian.