Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual lainnya. Perkembangan ini harus menjadi concern bagi orang tua agar menyiapkan anak yang tidak saja mahir secara teknis, tetapi juga memiliki perangkat etis di ruang maya.
Kita sudah sering menyadari ada kesenjangan antara pengetahuan agama dengan praktek sosial. Terkadang orang yang shaleh secara personal tidak mesti memancarkan kesalehan sosial. Masyarakat sering terjebak pada religiusitas simbolik.
Perilaku digital pun demikian. Orang yang sering melontarkan kata kasar dalam komentar, mudah menyebar hoaks, hingga ujaran kebencian bukan berarti itu tidak relijius secara personal. Tetapi, memang sejak awal ada kesenjangan kesalehan ritual dengan kesalehan sosial, begitu pula dengan kesalehan digital.
Secara sosiologis, religiusitas sering dilihat dari dua sisi: dimensi vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dan dimensi horizontal (hubungan dengan sesama). Dalam praktek hari ini, ruang sosial itu tidak hanya berada di ruang sosial yang nyata, tetapi juga ruang maya.
Ruang digital menjadi arena penting anak saat ini. Bagaimana mendidik akhlak perilaku dunia digital menjadi sebuah keharusan. Tidak hanya cukup kesalehan sosial dalam arti konvensional, tetapi juga membutuhkan pendidikan dan pembentukan kesalehan digital.
Kesalehan digital adalah integrasi nilai-nilai keagamaan dalam perilaku digital: santun dalam komentar, tidak menyebar hoaks, menghormati perbedaan, dan menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebaikan. Pedoman etis-relijius ini sangat penting diperkenalkan sejak dini, karena anak-anak kita adalah generasi digital native—lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak bisa dilepaskan dari layar dan koneksi internet.
Tanpa bimbingan yang tepat, anak-anak dapat terpapar konten negatif, menjadi korban atau pelaku perundungan digital, atau bahkan ikut menyebarkan ujaran kebencian. Mereka harus diajari bahwa kesalehan tidak berhenti di masjid, gereja, atau rumah ibadah lainnya, tapi harus terlihat dalam sikap dan tutur kata mereka di dunia maya.
Mendidik Kesalehan Digital Sejak Dini
Bagaimana melakukan pengajaran dan pendidikan dalam membentuk kesalehan digital? Ada beberapa langkah yang penting dilakukan orang tua untuk membentuk kesalehan digital. Pertama, bangun landasan yang kuat tentang ketakwaan yang diterjemahkan dalam ruang virtual. Salah satu yang penting adalah tentang ajaran bahwa Tuhan melihat segalanya, termasuk aktivitas digital.
Sebagaimana QS. Al-Zalzalah ayat 7-8, sekecil apapun amal baik atau buruk akan diperlihatkan. Anak perlu paham bahwa jejak digital mereka adalah bagian dari amal yang tercatat. Anonimitas media sosial bukan berarti tidak bisa diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dalam konsep relijisu seluruh aktivitas manusia yang jelas, samar, tersembunyi, dan tak tergapai pengetahuan empiric harus dipertanggungjawabk di hadapan Tuhan.
Kedua, mengenalkan konsep larangan agama dengan istilah dosa-dosa digital yang harus dijauhi. Agama melarang berita bohong, mengadu domba, berkata kasar, ujaran kebencian, perundungan, pornografi, riya dan sebagainya. Praktek di dunia sosial itu juga menjadi haram dilakukan di ruang digital. Dosa-dosa digital bahkan lebih berat karena ia mempunyai dampak yang meluas.
Ketiga, mengenalkan ada berkomunikasi di ruang digital. Semua perilaku hasanah di ruang sosial diterjemahkan dalam perilaku digital. Begitu pula, segala perilaku tidak terpuji di ruang sosial, misalnya dalam Islam AL Hujurat 11-12, harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak digital (digital ethic).
Keempat, membuka ruang dialog dengan anak. Tanyakan apa yang mereka tonton, siapa influencer yang mereka ikuti, dan apa pendapat mereka. Libatkan mereka dalam berpikir kritis terhadap konten.
Kelima, nasehat yang paling ampuh adalah teladan.Orang tua dan guru harus menjadi panutan. Anak tidak akan percaya pentingnya etika digital jika orang dewasa di sekitarnya gemar menyebar berita palsu atau menulis komentar kasar.
Keenam, mengajarkan narasi Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam dunia digital yang sarat dengan provokasi, penting menanamkan agama yang sejuk, merangkul, dan penuh kasih. Islam yang menjadi rahmat semesta harus diterjemahkan dalam ruang digital.
Ala kuli hal, sudah saatnya kita memaknai ulang kesalehan dalam konteks zaman. Kesalehan bukan hanya soal ritual, tapi juga soal etika dalam interaksi sosial, termasuk di media sosial. Jika tidak ingin generasi muda kita menjadi korban dari kebencian digital, maka kesalehan digital harus diperkenalkan sejak dini.
Kesalehan digital bukan sekadar tambahan dari pendidikan agama, tapi merupakan bagian esensial dari keberagamaan itu sendiri yang ditransformasikan dan dikontekstualisasikan dalam ruang digital. Beragama bukan hanya tentang hubungan dengan Tuhan, tetapi juga bagaimana kita menjaga sesama baik di dunia nyata maupun maya.