Adakah yang lebih esensial dari upaya memahami kembali hakikat keberadaan kita sebagai manusia, terutama dalam konteks mendidik jiwa-jiwa muda di era yang penuh gejolak ini? Pertanyaan filosofis ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah panggilan untuk merenungkan kembali pondasi moral dan etika yang seyogianya kita tanamkan pada generasi penerus. Di tengah hiruk pikuk informasi dan disinformasi, di mana jari-jemari digital mampu menyebarkan kebencian lebih cepat dari kilat, tugas orang tua menjadi semakin berat, namun juga semakin mulia. Bagaimana Pancasila, sebagai dasar filosofis negara kita, dapat kita terjemahkan ke dalam bahasa parenting yang relevan untuk membentengi anak-anak dari paparan kebencian digital?
Fenomena kebencian digital bukan lagi sekadar kasus per kasus, melainkan telah menjadi epidemi yang menggerogoti kohesi sosial. Dari sudut pandang psikologi sosial, paparan berulang terhadap ujaran kebencian dapat memicu desensitisasi, yakni penurunan kepekaan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Konsep “kognisi sosial” dan “pembelajaran observasional” (Bandura) menunjukkan bahwa anak-anak menyerap nilai dan perilaku dari lingkungan sekitar, termasuk lingkungan daring. Jika yang mereka serap adalah narasi kebencian, bukan tidak mungkin mereka akan menginternalisasikannya dan bahkan mereproduksinya. Ini adalah ancaman nyata terhadap masa depan bangsa yang kita impikan, sebuah ancaman yang tak kalah berbahaya dari infiltrasi ideologi asing.
Pancasila, dengan kelima silanya, menawarkan kerangka kerja moral yang kokoh. Namun, seringkali Pancasila hanya berhenti pada tataran simbolis atau hafalan belaka, alih-alih menjadi pedoman hidup. Tugas kita sebagai orang tua adalah menjadikan Pancasila sebagai sebuah pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai luhur dalam setiap aspek pengasuhan.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan pentingnya spiritualitas dan etika universal. Dalam parenting, ini berarti menanamkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman agama. Anak-anak perlu diajarkan bahwa perbedaan keyakinan adalah rahmat, bukan alasan untuk membenci. Mengutip prinsip “teologi inklusif” yang menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat dogmatis, kita bisa mengajarkan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menuntut kita untuk menjunjung tinggi martabat manusia. Di era digital, ini berarti mengajarkan empati digital. Anak-anak harus memahami bahwa di balik setiap akun anonim, ada manusia dengan perasaan. Konsep “deindividuasi” dalam psikologi, di mana individu merasa anonim dan kurang bertanggung jawab di ranah daring, seringkali memicu perilaku agresif. Melawan ini, kita harus tekankan pentingnya “respek virtual”, yakni perlakukan orang lain di dunia maya sebagaimana kita ingin diperlakukan di dunia nyata.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mendorong kita untuk memelihara keutuhan bangsa. Dalam konteks parenting, ini berarti membangun identitas nasional yang kuat pada anak-anak. Kenalkan mereka pada kekayaan budaya Indonesia, sejarah perjuangan bangsa, dan pentingnya gotong royong. Penting untuk mengajarkan bahwa kebencian yang disebar di media sosial seringkali dirancang untuk memecah belah bangsa, merujuk pada taktik “devide et impera” yang kerap digunakan dalam sejarah untuk melemahkan suatu bangsa.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengajarkan pentingnya dialog dan pengambilan keputusan berbasis musyawarah. Dalam parenting, ini bisa berarti mengajarkan anak untuk berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima, tidak mudah terprovokasi, dan mampu berargumen dengan sehat. Perkenalkan mereka pada konsep “literasi media” dan “verifikasi informasi” sebagai benteng terhadap hoaks dan propaganda kebencian.
Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menyerukan pemerataan dan keadilan. Dalam parenting, ini berarti mengajarkan anak tentang solidaritas sosial, kepedulian terhadap sesama, dan melawan segala bentuk diskriminasi. Melatih anak untuk menjadi “agen perubahan positif” di ranah digital, yang berani menyuarakan kebenaran dan melawan ketidakadilan, adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa.
Menerjemahkan Pancasila dalam bahasa parenting bukanlah tugas yang mudah, namun ini adalah investasi krusial untuk menyelamatkan generasi bangsa dari paparan kebencian digital. Ini adalah panggilan untuk kembali ke esensi pendidikan, yakni membentuk karakter dan moral yang kuat. Dengan membekali anak-anak kita dengan nilai-nilai Pancasila yang terinternalisasi, kita tidak hanya membentuk individu yang baik, tetapi juga membentengi masa depan bangsa dari ancaman perpecahan. Bukankah demikian hakikat sebuah peradaban yang beradab?