Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

- in Narasi
0
0
Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya adalah membenturkan konsep keimanan antar agama. Sebetulnya, biang keroknya ada pada pendekatan tekstualisme skriptural, sebuah cara pandang yang memperlakukan ayat-ayat suci seolah-olah benda mati.

Teks wahyu yang sejatinya hidup dalam kekayaan konteks historis dicerabut paksa hingga menjadi dalil-dalil beku yang kaku. Ketika wahyu diperlakukan secara dangkal dan harfiah, ia kehilangan ruhnya, kebijaksanaannya, dan yang terpenting, rahmatnya. Ayat yang semestinya menjadi pelita yang menerangi, dialihfungsikan menjadi pedang untuk menyerang atau perisai untuk bertahan.

Dari rahim metodologi yang cacat inilah lahir model dakwah apologetik-konfrontatif. Karena pemahamannya dangkal, ia menjadi rapuh dan defensif. Ayat-ayat ini “dihunus” untuk menegaskan mana yang benar mana yang salah, mana kitab yang suci, mana kita yang palsu.

Dakwah seperti ini lahir dari kegelisahan dan kebutuhan untuk memvalidasi diri dengan cara merendahkan yang lain. Energi dakwah yang seharusnya digunakan untuk transformasi spiritual ke dalam (tazkiyatun nafs), justru dihabiskan untuk konflik eksternal. Ruang dialog yang tulus dan setara tergantikan oleh panggung debat yang hanya mencari pemenang.

Empati untuk memahami tradisi spiritual orang lain seketika lenyap, digantikan oleh semangat untuk mencari titik lemah dan menjadikannya bahan cemoohan. Mentalitas yang tercipta adalah sebuah permainan kebenaran yang kejam: agar aku bisa benar, kamu harus terbukti salah.

Pendekatan ini sejatinya adalah sebuah pengkhianatan total terhadap metodologi dakwah yang diperintahkan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Dalam Surah An-Nahl ayat 125, Allah berfirman:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”

Ayat ini adalah sebuah kerangka kerja dakwah yang komprehensif. Hikmah menuntut pemahaman yang mendalam, kemampuan membaca konteks sosial, dan kearifan dalam memilih kata. Ia adalah antitesis dari pendekatan tekstualis yang pukul rata. Mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik) adalah tentang sentuhan ke hati, menggunakan kelembutan dan keteladanan, bukan kekerasan verbal. Dan bahkan ketika perdebatan tak terhindarkan, Allah memerintahkan wa jadilhum billati hiya ahsan (berdebatlah dengan cara terbaik, yang paling santun, paling konstruktif, dan paling beradab. Model apologetik-konfrontatif jelas menabrak ketiga pilar utama ini.

Di sinilah kita perlu waspada dan menempatkan fenomena ini dalam konteks keindonesiaan kita. Kita harus mulai memperhatikan para pendakwah apologetik ini dan menyadari bahwa model yang mereka tawarkan sesungguhnya tidak relevan dengan corak dakwah dan tenun kebangsaan Indonesia.

Sejarah Islam di Nusantara adalah sejarah dakwah yang penuh hikmah dan kearifan lokal. Para Wali Songo, sebagai contoh paling gemilang, adalah maestro dalam menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam bahasa budaya masyarakat. Sunan Kalijaga tidak datang untuk memberangus pertunjukan wayang, melainkan memanfaatkannya sebagai media efektif untuk menanamkan tauhid dan akhlak mulia. Mereka merangkul, bukan memukul. Mereka menyapa, bukan mencela.

Para pendakwah apologetik yang kini marak di panggung-panggung digital, dengan demikian, adalah sebuah anomali. Mereka mungkin populer karena algoritma media sosial yang cenderung menyukai sensasi dan konflik, namun corak dakwah mereka adalah produk impor yang asing bagi DNA keberagamaan Indonesia yang santun, ramah, dan dialogis.

Mereka tidak melanjutkan warisan para wali, melainkan justru menyimpang darinya. Dengan mengedepankan permusuhan atas nama pembelaan agama, mereka secara sadar atau tidak sadar sedang meretas harmoni sosial yang telah dirajut dengan susah payah oleh para pendahulu kita.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa kebenaran sejati tidak perlu diteriakkan dengan caci maki. Selain perintah untuk berdakwah dengan cara terbaik, Al-Qur’an juga memberi batasan tegas untuk tidak mencela sembahan agama lain (QS. Al-An’am: 108), agar terhindar dari kerusakan yang lebih besar.

Kita perlu kembali pada dakwah yang berakar pada hikmah dan rahmat, sebuah dakwah yang relevan tidak hanya dengan ajaran Tuhan, tetapi juga dengan jiwa bangsa Indonesia. Inilah jalan otentik untuk merawat iman tanpa harus merusak persatuan dalam kebhinekaan.

Bayangkan sebuah adegan di Madinah lebih dari 14 abad silam: delegasi terhormat dari kaum Nasrani Najran datang berhari-hari untuk bertemu Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak disambut di perbatasan kota dengan pedang terhunus, melainkan diundang masuk ke dalam jantung komunitas Muslim, Masjid Nabawi.

Di dalam ruang sakral itu, terjadi dialog teologis yang mendalam, penuh rasa hormat, tanpa paksaan. Puncaknya, ketika waktu ibadah mereka tiba, Sang Nabi mempersilakan mereka untuk menjalankan ritual keyakinan mereka di dalam masjidnya. Inilah fondasi agung yang diletakkan oleh Rasulullah; sebuah risalah yang menunjukkan bahwa ketulusan dalam dialog lebih mulia daripada hasrat untuk mendominasi.

Indah sekali bukan …

Facebook Comments