Indonesia lahir dari rahim perbedaan. Ratusan suku, bahasa, agama, dan tradisi bersatu dalam satu entitas kebangsaan bernama Indonesia. PrinsipBhinneka Tunggal Ikabukan sekadar semboyan, melainkan fondasi dan pengalaman hidup masyarakat Indonesia sejak dulu. Karena itulah, sejak dini anak-anak kita dikenalkan pada keragaman sebagai realitas dan kekayaan, bukan sebagai ancaman.
Anak harus banyak dikenalkan dengan pengalaman hidup persaudaraan dalam keragaman. Saya sangat setuju dan tertarik dengan tagline Hari Anak 2025 : Anak Indonesia Bersaudara. Tagline ini sangat luar biasa karena menanamkan pada anak sejak dini tentang persaudaraan satu bangsa, walaupun berbeda-beda.
Namun hari ini, ruang perjumpaan anak-anak dengan keragaman semakin menyempit. Mereka tumbuh di dunia yang semakin homogen—bukan karena alamiah, tetapi karena desain sosial yang secara sadar atau tidak, menutup ruang-ruang keberagaman itu. Pengalaman perjumpaan anak dengan keragaman menjadi semakin kecil.
Keseragaman Identitas Sejak Bangku Sekolah
Sekolah, yang seharusnya menjadi ruang perjumpaan pertama anak-anak dengan dunia yang lebih luas, kini justru menjadi ruang penyekat identitas. Banyak sekolah didirikan berdasarkan satu identitas agama atau keyakinan. Masing-masing agama berlomba-lomba mendirikan sekolah dengan label “Sekolah Agama” tertentu dengan mengekslusi atau tidak menerima peserta didik yang berbeda agama.
Hanya Sekolah Negeri dan swasta yang umum yang masih menyisakan ruang perjumpaan seperti itu. Namun, terkadang di sekolah tersebut mayoritas menjadi penentu kebijakan sekolah yang dominan. Ruang perjumaan anak di sekolah dengan keragaman yang minim.
Dengan adanya sekolah-sekolah yang hanya menerima peserta didik dengan kategori agama tertentu, ruang perjumpaan anak terhadap perbedaan mulai berkurang. Anak-anak yang hanya bersahabat dengan teman seiman, hanya mendapatkan pengalaman dari satu sumber, cenderung kesulitan berempati terhadap mereka yang berbeda.
Ketika perbedaan muncul di dunia nyata, mereka tak siap. Tidak ada lumbung pengalaman sosial yang bisa dijadikan acuan untuk memahami atau menerima keragaman. Padahal, pendidikan yang ideal adalah yang mempersiapkan anak untuk hidup dalam masyarakat demokratis yang berarti kemampuan untuk hidup bersama perbedaan.
Lingkungan Sosial yang Eksklusif-Segregatif
Tak berhenti di sekolah, desain lingkungan sosial kita kini juga mendorong anak-anak hidup dalam lingkungan yang seragam secara agama dan identitas. Fenomena perumahan “syariah” atau “komunitas religius” tertentu yang hanya menerima warga dari satu golongan atau agama tertentu menjadi gejala nyata. Ada proses rekayasa masyarakat yang tanpa sadar atau sadar mulai mengalamai segregasi.
Maraknya perumahan yang mengalahkan perkampungan adalah fenomena baru. Perumahan adalah kawasan hunian yang didesain sejak awal dengan kategori-kategori tertentu. Perumahan berdasarkan agama misalnya, perumahan kawasan elite, perumahan golongan pekerja aparat negara, perumahan subsidi, dan kategori lainnya.
Perumahan-perumahan semacam itu akhirnya mendesain ruang pertemuan yang seragam berdasarkan agama, kelas sosial dan identitas yang sama. Anak yang tumbuh dalam Kawasan seperti itu menjadi minim pengalaman hidup dalam perbedaan. Penanaman pengetahuannya didesain hanya berkumpul dengan identitas yang sama. Mereka miskin empati dan simpati.
Bourdieu menyebut ini sebagai bentuk “habitus”, yakni bagaimana struktur sosial membentuk cara berpikir dan bertindak. Jika sejak kecil anak dibentuk oleh habitus yang tertutup terhadap perbedaan, maka ketika dewasa ia akan kesulitan melihat keragaman sebagai sesuatu yang wajar dan layak dihormati.
Jerat Pola Pikir Seragam karena Algoritma
Jika sekolah dan lingkungan telah menyempitkan perjumpaan fisik dengan keragaman, media digital melengkapi dengan algoritma yang memperkuat ruang gema (echo chamber). Anak-anak yang tumbuh dengan media sosial hanya disuguhi konten sesuai preferensi mereka. Algoritma bekerja untuk memperkuat kecenderungan, bukan memperluas pandangan.
Akhirnya, gawai bukan lagi jendela ke dunia, tapi cermin dari diri sendiri yang terus diulang-ulang. Anak-anak hidup dalam gelembung informasi yang membuat mereka tidak terbiasa melihat sudut pandang berbeda. Inilah yang disebut sebagai “filter bubble”, sebuah realitas digital yang menutup peluang untuk melihat dunia secara utuh dan beragam.
Toleransi Ditanam melalui Perjumpaan, Bukan Pelajaran
Kesalahan mendasar dalam pendidikan kita adalah mengira bahwa toleransi bisa diajarkan hanya lewat teks buku. Padahal, toleransi lahir dari pengalaman, bukan sekedar pelajaran. Toleransi itu bukan sekedar definisi, tetapi aksi. Seorang anak yang tumbuh dengan teman-teman yang berbeda keyakinan, akan lebih mudah memahami bahwa perbedaan bukan ancaman. Ia belajar bahwa ada banyak cara menjalani hidup, dan semua patut dihormati.
Pengalaman sosial konkret dalam membentuk kesadaran moral anak lebih efektif dari sekedar teori-teori besar yang dinilai dengan angka. Nilai moral bukan ditanam lewat dogma, tetapi melalui dialog, pengalaman, dan keterlibatan sosial.
Sudah saatnya kita merekonstruksi ulang desain sosial dan pendidikan kita. Sekolah harus kembali menjadi ruang publik tempat anak bertemu dan belajar hidup dalam keragaman. Bukan berarti menghapus sekolah berbasis agama, tetapi perlu ada intervensi kurikulum dan kultur sekolah yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman. Sekolah menyediakan ruang perjumpaan terhadadap perbedaan seperti studi visit ke rumah ibadah atau ke sekolah yang berbeda-beda.
Lingkungan tempat tinggal pun perlu didorong menjadi ruang interaksi sosial lintas identitas. Pemerintah dan masyarakat bisa merancang program lintas komunitas, seperti taman bersama, kegiatan olahraga, atau seni budaya yang mengundang keterlibatan banyak pihak dari latar belakang berbeda.
Sementara itu, pendampingan terhadap anak dalam menggunakan media digital sangat penting. Anak perlu dikenalkan pada berbagai sumber informasi, diajak berdiskusi, dan diperkenalkan pada beragam tokoh, budaya, dan cerita dunia.
Jika bangsa ini ingin merawat kebinekaannya, maka langkah paling awal adalah memberikan ruang perjumpaan yang cukup bagi anak-anak untuk mengalami keragaman itu secara nyata. Jangan sampai mereka tumbuh dalam dunia yang sempit, seragam, dan penuh kecurigaan terhadap yang berbeda.