Hingga akhir zaman, hukum Islam tak akan pernah habis untuk dibicarakan dan didiskusikan. Ia akan terus ada, mengiringi dan mengawal kehidupan umat muslim di mana pun dan kapan pun. Karena itu, agar hukum Islam senantiasa selalu bisa menjadi solusi atas kehidupan umat modern, Ia (hukum Islam) harus mampu berdialog dengan perkembangan zaman. Tetapi tetap harus dalam koridor keislaman. Dengan kata lain, harus mampu menjawab tantangan dan kebutuhan zaman. Dengan demikian, hukum Islam benar-benar akan menjadi solusi kreatif bagi kehidupan umat manusia secara umum dan, muslim pada khususnya.
Untuk mencapai itu, salah satu metode yang bisa kita lakukan adalah membuka pintu ijtihad. Secara teoritis, ijtihad adalah bagian ketiga dari sumber hukum Islam yang ada setelah al-quran dan al-hadits. Jika al-quran memuat hukum-hukum yang secara langsung disandarkan kepada Allah Swt, dan al-hadits kepada nabi Muhammad Saw. maka ijtihad merupakan serangkaian hukum Islam yang dirumuskan oleh ulama mumpuni dan ahli di bidangnya untuk menjawab persoalan-persoalan dan peristiwa-peristiwa kekinian yang menimpa kehidupan umat Islam kini yang secara pasti, belum ditemukan hukum atau aturan jelasnya dalam al-quran dan al-hadits.
Menurut Kiai Husein Muhammad dalam bukunya Menuju Fiqh Baru, metode semacam ini (ijtihad), menurutnya sudah ada sejak zaman Nabi Saw dan banyak dilakukan oleh ulama-ulama fiqh dan ahli hukum setelahnya.
Adalah Mu’adz bin Jabal salah pelaku ijtihad itu. Ia merupakan sahabat Nabi Saw terkemuka. Namanya masuk dalam As-Sabiqunal al-Awalun (Orang-orang awal yang masuk Islam). Nabi pernah memujinya sebagai sahabat yang paling paham hukum Islam, nabi pernah mengirimnya ke Yaman sebagai duta besar (dubes) sekaligus sebagai ahli hukum.
Sebelum Mua’adz bin Jabal berangkat ke Yaman, sempat terjadi dialog antara nabi dan Mu’adz bin Jabal. Di antara dialog itu adalah: “ Bagaimana kamu akan memutuskan suatu perkara jika ditanyakan kepadamu?” tanya Nabi Saw. “Akan aku putuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitab Allah,” jawab Mu’adz bin Jabal Ra. “Jika kamu tidak menemukannya?” “Aku putuskan dengan Sunnah Rasul.” “Jika kamu juga tidak menemukannya?” “Aku akan berpikir keras dengan nalarku.”
Setelah mendengar semua jawaban itu, Nabi Saw. tersenyum dan memujinya. Beliau menepuk-nepuk dadanya dan berkata, “Alhamdulillah yang telah memberikan petunjuk kepadanya utusan Rasulullah.” Hingga saat ini, jawaban Mu’adz bin Jabal Ra. yang terakhir itu dikenal dengan metode ijtihad, yakni pengambilan hukum Islam dengan berdasarkan kekuatan nalar dan logika dengan tetap bersandar pada nilai-nilai keislaman saat tak menemukan jawaban hukum dalam al-quran dan al-hadits perihal hal yang sedang menjadi masalah.
Akan tetapi, perlu kiranya menjadi catatan bagi kita bahwa tidak semua hukum Islam bisa diperoleh dengan cara ijtihad. Menurut Kiai Husein, dalam bukunya itu, dijelaskan bahwa hukum Islam yang dapat diperoleh dengan cara ijtihad hanyalah bagian hukum Islam yang tidak tergolong qath’i, yakni hukum-hukum yang ditetapkan dengan dalil-dalil yang tegas, kuat dan tidak perlu penafsiran ulang. Yang termasuk dalam hukum-hukum qath’i, adalah bidang aqidah (akidah/keyakinan), amaliah (praktik) dari akidah tadi, dan bidang hukum-hukum Islam yang diambil dari syariat Islam.
Sedangkan yang masuk dalam wilayah ijtihad, adalah bidang pemikiran teologi (ilmu kalam), bidang amaliyah, (sebagian dari masalah ini bersifat qath’i sebagaiman dijelaskan sebelumnya, dan sebagiannya bersifat zhanni, artinya punya kemungkinan untuk diberi interpretasi), dan bidang kaidah-kaidah mazhab. Bagian ini meniscayakan hukum Islam yang dinamis, bisa berubah dan mengalami perubahan untuk menjawab tantangan zaman. Dan, bagian inilah pula yang harus dikembangkan oleh umat Islam, agar hukum Islam tidak setagnan dan mandek untuk ikut serta menjawab kehidupan modern. Dengan demikian, hukum Islam akan mengalami kemajuan, progrsifitas dan mampu beradaptasi dengan zaman kekinian hingga membuatnya tetap eksis hingga akhir zaman.