Satu-satunya agama yang haq bagi Allah adalah Islam. Inna ad Dina ‘Indallahil Islam. Begitulah ayat al Qur’an menyatakan hanya agama Islam yang diakui oleh Allah. Oleh karena itu, kata Allah, “udkhulu fi al Silmi Kaffah”, berislamlah secara totalitas dengan mengejawantahkan segala nilai, ajaran dan norma menjadi suatu dogma dalam setiap aspek kehidupan.
Pertanyaannya, bagaimana berislam secara totalitas itu? Adalah berislam dengan menterjemahkan kata “kaffah” secara universal, komprehensif dan proporsional. Terjemahan siapa? Tentu saja terjemahan dari Nabi Muhammad. Beliau mengatakan, yang paling esensi dan substansi dari ajaran Islam adalah akhlak luhur. Sesuai bunyi hadits “Aku diutus semata hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Selanjutnya Nabi Muhammad memberikan informasi tentang wajah Islam ideal. Suatu ketika beliau mengatakan “ma ana ‘alaihi wa ashabi”, adalah Islam seperti telah aku praktekkan dan diterjemahkan dengan baik oleh para sahabat-sahabatku, kemudian tabi’in (murid atau pengikut sahabat), kemudian tabiu’t tabi’in (pengikut tabi’in). Model beragama seperti disebut oleh Nabi dengan istilah “Ahlussunah wal Jama’ah”.
Maka bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa Aswaja adalah Islam itu sendiri. Konsisten berislam ala Rasulullah dan para sahabatnya, tabi’in dan pengikut tabi’in. Seperti disampaikan oleh Imam al Syahrastani, Rasulullah menyebut Ahlussunah wal Jama’ah adalah praktek beragama seperti Rasulullah dan sahabatnya. Jelas hal ini menjadi pedoman utama bagi umat Islam bagaimana beragama secara benar.
Tiga generasi terbaik yang dipuji oleh Rasulullah sebagai wajah Islam ideal yang semestinya diejawantahkan sebagai nilai, norma dan ajaran sebagai dogma bagi umat Islam. Mereka merupakan gambaran dari “Khaira ummah” atau umat terbaik, seperti disebutkan dalam al Qur’an. Dengan demikian, khairu ummah adalah tiga generasi yang disebutkan oleh Rasulullah dan umat Islam yang mengikuti tradisi beragama seperti mereka.
Wasathiyyah Ciri Utama Islam Ahlussunah wal Jama’ah
Dengan demikian, Aswaja adalah tradisi beragama seperti dicontohkan tiga generasi terbaik tersebut. Suatu cara beragama yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki ajaran universal dengan orientasi rahmatan lil ‘alamin, menjadi rahmat bagi semesta alam. Ciri utamanya adalah wasathiyyah atau moderat.
Ciri ini disebut dalam al Qur’an (al Baqarah: 143), bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai “ummatan wasathan”. Menurut Prof Dr Ali Jumu’ah, mantan Mufti Mesir, kata “wasath” berarti berada di tempat yang tinggi. Dalam kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ibnu Katsir, Thabari, Baghawi dan Qurthubi, maknanya adalah posisi tengah di suatu tempat yang tinggi. Semisal puncak gunung dimana seseorang bisa melihat lembah di bawahnya dan di sebaliknya.
Arti lain dari “wasath” adalah baik. Dalam hadits riwayat Imam Turmudzi dan Imam Ahmad, surga firdaus adalah awsath al Jannah yang berarti surga terbaik. Wasathiyyah juga bermakna adil, yaitu menempatkan sesuatu secara tepat.
Dengan demikian, Islam Wasathiyyah adalah Islam yang adil, tidak ke kutub ekstrem kanan maupun kiri. Beragama secara ekstrem adalah model beragama yang berlebihan. Nabi menyebutnya beragama secara ghuluw. Hal ini dilarang oleh Baginda Nabi karena tidak sesuai misi kenabian yang diembannya.
Jadi, Islam Wasathiyyah atau Islam Moderat hakikatnya merupakan ajaran al Qur’an, bukan produk pemikiran. Ia hadir untuk mengakomodir pluralitas gagasan maupun pemikiran (ijtihad) dalam tubuh umat Islam. Sehingga, selama gagasan atau pemikiran itu berasal dari dua sumber hukum Islam yakni al Qur’an dan hadits, selama itu pula harus diterima sebagai kebenaran sekalipun tidak sejalan dengan tafsir yang dianut oleh pribadi atau kelompoknya.
Bagi umat Islam yang masa hidupnya berjarak cukup jauh dengan masa Nabi dan tiga generasi terbaik tersebut, tidak mungkin bahkan mustahil mengetahui praktek beragama mereka. Beruntung ada ulama-ulama salafus shalih yang memotret kehidupan beragama mereka dalam bentuk karya-karya tertulis yang ada dan bisa dibaca hingga kini. Ulama-ulama salafus shalih membantu menafsirkan al Qur’an, hadits dan tradisi sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in. Mereka berkontribusi besar terhadap estafet tradisi Aswaja.
Kembali ke Aswaja Suatu Keharusan
Di Indonesia, sampai detik ini, kelompok-kelompok intoleransi radikal berbasis agama (Islam) semakin tumbuh dan berkembang, bertebaran dalam kehidupan sosial dan media sosial menebarkan wabah intoleransi dan radikalisme. Mereka bergerilya cepat melakukan berbagai propaganda untuk melemahkan muslim Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja). Modus mereka adalah menyesatkan pemikiran ajaran Islam yang “rahmatan lil ‘alamin” dengan tuduhan bid’ah, sesat dan kafir.
Nahi munkar yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya sebagai gerakan dakwah yang santun penuh hikmah dan akhlakul barimah, oleh kelompok intoleran radikal dirubah menjadi intimidasi teologis, bahwa siapapun yang berbeda dengan kelompoknya berarti sesat dan kafir. Karenanya, harus diperangi dan dihabisi.
Islam yang seharusnya menyelamatkan seluruh umat manusia berubah menjadi alat pembunuh umat manusia. Islam sebagai agama yang sangat menghormati kemanusiaan, justru membunuh kemanusiaan itu sendiri. Perbuatan yang tak patut dilakukan sebagai seorang muslim malah dilakukan dengan alasan perintah agama.
Padahal, Allah berpesan kepada Nabi: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu”. (Ali Imran: 159).
Begitulah seharusnya umat Islam. Bersikap lembut dan kasih sayang. Bukankah karena kelembutan Nabi sehingga agama Islam diminati dan manusia berbondong-bondong memeluknya? Tapi kenapa sekarang ada umat (mengaku) Islam yang senang melakukan kekerasan atas nama agama?
Itulah ciri mereka yang bukan Aswaja, sekalipun mereka mengklaim penganut Aswaja, bahkan mengaku pengikut Islam yang sejati berdasarkan al Qur’an dan hadits. Klaim yang kemudian menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan sebab keliru menafsirkan al Qur’an dan hadits karena ilmu agama yang lemah.
Penolakan terhadap pendapat-pendapat ulama salaf menjadi awal kenistaan beragama kelompok intoleran radikal. Memberikan justifikasi bukan penganut agama Islam yang benar kepada kelompok muslim yang lain. Padahal, jelas meraka telah melakukan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam memahami agama Islam.
Sehingga, kalau ada beberapa orang yang taubat kembali ke pangkuan Aswaja adalah suatu keberuntungan karena masih mendapatkan hidayah dari Allah. Sebab kalau tidak demikian, akan selalu menjadi manusia yang memiliki kesenangan mencaci, melakukan kekerasan atas nama agama, mengklaim diri pemilik kebenaran dan semua orang yang berbeda adalah batil dan sesat.