Idul Qurban: Bukti Bahwa Agama Tak Menghendaki Kekerasan dan Pembunuhan

Idul Qurban: Bukti Bahwa Agama Tak Menghendaki Kekerasan dan Pembunuhan

- in Narasi
498
0
Idul Qurban: Bukti Bahwa Agama Tak Menghendaki Kekerasan dan Pembunuhan

Salah satu syariat penting dalam hari raya idul adha adalah berkurban. Meski tidak berlaku wajib bagi semua orang kecuali bagi mereka yang mampu, namun berkurban di hari raya idul adha sudah semacam menjadi ritual wajib yang mesti ada.

Itu sebabnya, hari raya yang satu ini juga disebut sebagai hari raya kurban. Sebab, prosesi dan perayaan hari raya yang satu ini bisa dikatakan tak bisa dilepaskan dari proses penyembelihan hewan kurban itu sendiri. Yang nantinya, daging hewan kurban itu dibagikan kepada jemaah atau masyarakat sekitar.

Secara historis, syariah berkurban ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim. Yakni adanya perintah terhadap Nabi Ibrahim untuk mengorbankan (menyembelih)anaknya, Nabi Ismail. Perintah itu diperoleh Nabi Ibrahim melalui sebuah mimpi yang kerap kali datang dalam tidurnya.

Singkat cerita, mimpi itu diceritakan kepada Nabi Ismail. Setelah menceritakan semuanya, Nabi Ismail bersedia dikorbankan demi menjalankan perintah itu. Begitupun dengan Nabi Ibrahim, meski berat, ia juga bersedia melakukan pengorbanan maha dahsyat tersebut: menyembelih anak terkasihnya sendiri dengan tangan sendiri.

Proses pengorbanan Nabi Ismail itu akhirnya dilakukan. Nabi Ibrahim mengorbankan (menyembelih) anaknya sendiri. Namun, hal yang tak terduga (mukjizat) terjadi. Setelah proses penyembelihan itu terjadi, ternyata yang Nabi Ibrahim sembelih bukanlah Nabi Ismail. Melainkan seekor kambing gemuk yang didatangkan dari surga.

Dalam QS. Ash-Shaffat Ayat 107 Dia berfirman: ”Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” Dengan demikian, penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim sebagaimana diperintahkan tidak benar-benar terjadi. Tidak ada penyembelihan Ismail; tidak ada penyembelihan manusia.

Secara tersirat, digantinya sosok Ismail dengan seekor sembelihan (kambing) ini memiliki makna penting yang secara interpretatif memiliki implikasi yang cukup jelas. Bahwa peristiwa penggantian Nabi Ismail dengan seekor sembelihan itu membuktikan bahwa agama sama sekali tidak menghendaki kekerasan dan pembunuhan.

Seolah-olah, dengan mengganti Nabi Ismail dengan seekor sembelihan itu Tuhan hendak menegaskan, bahwa atas nama apa pun, melakukan kekerasan hingga menghilangkan nyawa liyan, meski itu atas nama agama atau Tuhan sekalipun, perbuatan semacam itu tak bisa dibenarkan. Selain itu, dalam peristiwa penggantian itu, seolah-olah Tuhan juga tak mau sejarah agama dinodai dengan peristiwa bunuh-membunuh.

Kita bisa membayangkan implikasi interpretatif semacam apa yang akan muncul andai yang Nabi Ibrahim sembelih benar-benar Nabi Ismail, bukan seekor kambing. Boleh jadi, akan ada tafsiran–dengan merujuk pada peristiwa itu–bahwa mengorbankan nyawa manusia atas agama dan Tuhan adalah sesuatu yang diperbolehkan. Jika demikian, kita pun tidak bisa membayangkan, peristiwa macam apa yang akan mewarnai kehidupan beragama kita.

Namun beruntung mukjizat penggantian Nabi Ismail dengan seekor sembelihan itu terjadi. Sehingga, dengan demikian, kita pun menjadi mengerti bahwa agama sama sekali tak menghendaki kekerasan pembunuhan terhadap liyan tak berdosa meski atas nama agama dan Tuhan. Lalu, bagaimana dengan doktrin terorisme yang mengatakan bahwa membunuh kelompok lain yang berbeda dari golongan mereka adalah bagian dari jihad?

Merujuk pada peristiwa penggantian Nabi Ismail dengan seekor sembelihan itu menjadi jelas bahwa doktrin terorisme tersebut adalah bentuk kesesatan dalam beragama. Sebab, peristiwa itu dengan sangat jelas memperlihatkan sikap Tuhan kepada kita bahwa Tuhan sama sekali tak menghendaki pembunuhan terhadap liyan tak berdosa-tak bersalah.

Facebook Comments