Puncak ibadah haji, yakni wukuf di Arafah telah berlalu. Tiba saat-saat jelang berakhirnya prosesi ibadah haji tahun 1444 Hijriah ini. Jutaan jamaah haji dari beragam negara dan bangsa pulang ke asalnya. Tidak terkecuali jamaah haji asal Indonesia.
Tanpa bermaksud mendeskreditkan Jamaan haji asal negara lain, kiranya harus diakui bahwa menjadi haji di Indonesia adalah sebuah keistimewaan alias previlese. Bagaimana tidak. Untuk bisa berhaji (reguler), umat Islam Indonesia saat ini harus rela mengantre puluhan tahun. Belum lagi ongkos biaya haji yang jelas tidak sedikit.
Tapi, sekembali dari Tanah Suci, gelar haji yang tersemat di depan nama itu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi penyandangnya. Ia akan dihormati di kalangan masyarakat dan dianggap lebih tinggi derajat kesalahennya. Namun, apakah makna haji hanya berhenti pada label atau titel “H” yang tersemat di depan nama seseorang? Jelas tidak!
Haji Sebagai Ziarah Spiritual
Haji bukanlah perjalanan fisik belaka. Haji juga bukan kegiatan turisme yang memburu tempat eksotis. Lebih dari itu, haji adalah napal tidak sejarah umat manusia, sejak Nabi Adam hingga Muhammas Saw. Haji bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan siaran batin, dan lelaku spiritual yang berorientasi pada pencapaian kesadaran otentik dalam beragama.
Kesadaran otentik dalam beragama adalah keadaan dimana umat beragama memahami bahwa menjalani laku beragama tidak boleh sekadar simbolik alias di permukaan, namun harus terinternalisasi ke dalam pikiran, ucapan, dan tindakan. Rangkaian prosesi ibadah haji memang kerap tidak masuk akal jika dinalar secara logika dangkal.
Melihat jutaan umat manusia tumpah ruah mengitari Ka’bah, bermalam di jalanan kota Muzdalifah dan Mina, lalu berkumpul di ladang Arafah barangkali adalah sebuah tindakan absurd. Memang dalam banyak hal, praktik peribadatan agama itu kerap kali di luar nalar. Namun, agama tidak cukup hanya dipahami dari kulit luarnya saja dengan mengandalkan logika apalagi yang dangkal. Diperlukan pemaknaan mendalam untuk memahami ritual keagamaan.
Dalam konteks ibadah haji, rangkaian ibadah yang dilakoni jemaah semua punya makna filosofis. Thawaf mengitari Ka’bah dengan melawan arah jarum jam, adalah simbol perlawanan terhadap arus duniawi yang menjebak manusia pada rutinitas nirmakna.
Ritual melempar jumroh, bermakna perjuangan melawan hawa nafsu. Bahwa diperlukan komitmen kuat untuk melawan nafsu negatif yang muncul karena pengaruh eksternal. Di era modern ini, hawa nafsu atau setan itu mewujud pada sikap egois dan merasa benar sendiri yang berasal dari alam bawah sadar manusia.
Sedangkan ritual bermalam di Mina, Muzdalifah, dan Arafah memiliki makna bahwa manusia pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang sama di hadapan Allah. Ritual itu menggambarkan betapa manusia yang memiliki fisik, bahasa, dan budaya pada berakar pada genetika yang sama; Adam dan Hawa.
Menjadi Haji, Menjadi Agen Perdamaian dan Persatuan
Makna inklusivisme kemanusiaan itu juga ditegaskan dalam Khutbah Haji Wada yang dikumandangkan Nabi Muhammad. Salah satu pesan penting Nabi Muhammad dalam khutbah haji perpisahan itu adalah seruan untuk tidak kembali ke kekufuran, peperangan dan kesengsaraan.
Pesan Rasulullah agar umat Islam tidak kembali ke kekufuran, peperangan, dan kesengsaraan selepas beliau wafat adalah sebuah deklarasi bahwa Islam adalah agama tauhid yang menjunjung tinggi keadilan dan perdamaian. Hakikat Islam adalah memanusiakan manusia dengan menjamin kesetaraan harkat dan perlindungan terhadap jiwa dan raga.
Spirit tentang keadilan, perdamaian, dan persatuan itulah yang idealnya dibawa pulang oleh jamaah haji Indonesia. Dengan begitu, sekembalinya mereka ke tanah air, para jamaah haji akan mampu memberikan warna baru bagi kehidupan kebangsaan kita. Terlebih di tahun politik ini, spirit pasca haji sangat diperlukan untuk meredam potensi konflik yang mengancam keutuhan bangsa.
Sepulang ke Tanah Air, diharapkan pada jemaah haji dapat menyebarkan pesan perdamaian dan persatuan di kalangan umat dan masyarakat Indonesia. Pesan perdamaian dan persatuan itu kiranya akan menjadi oleh-oleh yang paling berharga dan tahan lama. Kita juga berharap, ribuan jemaah haji yang akan pulang ke tanah air itu membawa berkah bagi bangsa. Berkah berupa kian harmonisnya kehidupan beragama dan kian solidnya kehidupan berbangsa.