Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pembagian atas dua bagian. Sedangkan polarisasi politik adalah dua kelompok berpaham dan pandangan yang berbeda secara politis.
Menjelang tahun politik seperti sekarang potensi terjadinya polarisasi dalam masyarakat sangat rentan. Keterbelahan masyarakat ke dalam dua faksi atau lebih karena perbedaan pandangan politik sangat mungkin terjadi. Sejarah Pemilu 2019 mengingatkan kita akan hal itu. Polarisasi yang mengkhawatirkan persatuan dan perdamaian di tubuh bangsa Indonesia terjadi pada Pemilu lalu. Karenanya, sangat mungkin terjadi pada Pemilu mendatang, bahkan dengan tensi lebih tinggi kalau tidak diseriusi untuk mengantisipasinya.
Isu-isu agama dengan beragam variannya menjadi penyumbang terbesar terjadinya polarisasi politik. Akibatnya masyarakat terbelah dengan sangat tajam. Berita bohong yang mengadu domba, aroma kebencian yang begitu menyengat dan tensi emosi yang begitu kuat dalam balutan isu-isu agama merupakan fenomena menyeramkan yang mengancam tenun kebangsaan yang selama ini cukup baik.
Hal ini tidak hanya menyasar kelompok awam, kalangan agamawan dengan gelar akademik mentereng sekalipun masih terpedaya dan larut dalam arus polarisasi tersebut. Tak ayal, polarisasi semakin kuat dan tajam. Bermusuhan dengan saudara seagama tak bisa dihindari, dengan kelompok pendukung kandidat lain apalagi dan paling parah adalah isu agama seperti muslim dan non muslim.
Berita-berita yang kurang bijak yang memang sengaja diciptakan untuk memperluas permusuhan dan perpecahan begitu mudahnya mempengaruhi masyarakat dari berbagai tingkatan. Kebhinekaan yang selama ini menjadi khazanah kekayaan bangsa dan dipersatukan secara baik oleh Pancasila terancam menjadi serpihan kelompok-kelompok yang saling membenci dan bermusuhan.
Timbulnya istilah Cebong dan Kampret pada Pemilu lalu menjadi pelajaran sangat berarti. Secara fundamental, yang diperselisihkan oleh kedua yang begitu tajam waktu itu adalah soal politik, yaitu soal siapa yang pantas menang dan menjadi pemimpin. Maka, saat ini kita harus belajar dari masa lalu tahun politik kemarin. Jangan sampai kita terjerumus pada polarisasi yang sangat mengkhawatirkan terjadinya konflik tersebut. Terutama bagi umat Islam sebagai kelompok mayoritas, sejatinya memberikan contoh berupa akhlak politik sebagaimana diajarkan oleh Islam.
Akhlak Politik dalam Islam untuk Mencegah Polarisasi dalam Masyarakat
Polarisasi menjadi sangat tajam manakala dibumbui dengan sikap saling menghina, saling hujat dan saling merendahkan. Sikap-sikap tersebut sangat dilarang dalam agama Islam. Bukan akhlak yang diajarkan, melainkan prilaku tercela dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al Hujurat: 11).
Ayat di atas adalah ajaran Islam tentang etika berkomunikasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk etika berkomunikasi dalam politik. Mengajarkan kepada kita akhlak yang baik dalam hal berkomunikasi dengan orang atau kelompok lain.
Seperti panggilan fasiq, kafir dan sesat merupakan akhlak buruk yang tercela serta merupakan kedzaliman. Ancamannya bagi pelaku kedzaliman itu apabila tidak segera bertaubat akan dikelompokkan ke dalam kelompok orang-orang yang teraniaya. Suatu sanki yang memposisikan seseorang pada derajat paling rendah, bahkan siksa pedih.
Imam Ghazali dalam Al Iqtishad fil I’tiqad mengingatkan, hendaklah kefanatikan terhadap kepemimpinan harus dihindari. Menghindari pembicaraan yang berlarut-larut tentang kepemimpinan (kontestasi dalam Pemilu) lebih baik dan lebih selamat dari pada larut di dalamnya sekalipun benar.
Menurut al Ghazali, mengganti tema pembicaraan politik dengan tema selain politik akan lebih baik manakala pembicaraan politik berpotensi menimbulkan polarisasi yang akibatnya adalah keterbelahan masyarakat. Apalagi, bagi mereka yang tidak memahami politik secara baik maka lebih baik diam.
Menjaga silaturahmi dan etika berkomunikasi jauh lebih penting dari pada larut dalam isu-isu politik yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan keterbelahan serta permusuhan. Menjaga persatuan, keutuhan bangsa dan perdamaian jauh lebih penting dari pembicaraan yang keluar dari etika dan akhlak berkomunikasi yang diajarkan dalam Islam sebagaimana ayat di atas.
Pemilu atau pesta demokrasi merupakan cara memilih pemimpin yang baik. Sebuah ijtihad dengan pertimbangan kemaslahatan berdasarkan pengamatan dan penilaian masing-masing individu. Suara terbanyak menjadi penentu hasil ijtihad yang dikategorikan sebagai ijtihad yang dipilih oleh mayoritas masyarakat. Oleh karena itu, perbedaan pandangan politik bukan alat untuk menciptakan permusuhan melainkan mencari tipikal pemimpin terbaik sesuai dengan keinginan suara terbanyak.
Bagi kontestan, melegalkan segala cara sekalipun melanggar norma agama dan akhlak berkomunikasi, bukan akhlak terpuji. Selain dilarang agama, juga bertentangan dengan nilai-nilai kebhinekaan bangsa Indonesia yang selama ini terawat secara baik.
Islam tidak mengajarkan komunikasi atau melempar isu-isu politik yang berpotensi menimbulkan polarisasi dalam masyarakat. Etika berkomunikasi, termasuk komunikasi politik, telah diatur sangat jelas sebagaimana bunyi ayat di atas; tidak boleh saling mencaci, saling menghina dan saling merendahkan. Al Qur’an menyebut dan mengancam pelaku tabiat buruk ini ke dalam golongan orang-orang yang teraniaya kelak di hadapan Allah.