Larangan Mempermainkan Rebana: Krisis Pemikiran Dalam Keberagaman

Larangan Mempermainkan Rebana: Krisis Pemikiran Dalam Keberagaman

- in Keagamaan
561
0
Larangan Mempermainkan Rebana: Krisis Pemikiran Dalam Keberagaman

Belakangan ini masyarakat kembali dihebohkan oleh fenomena paragmatisme beragama. Kali ini potret kegamangan beragama mewarnai jagat media sosial yang dipertontonkan oleh kemarahan pria atas pemuda karena memainkan rebana di dalam masjid Al-Ikhlas di Perumahan Palm Spring Jambangan, Surabaya. Dalam vedio berdurasi dua menit, seorang pria dengan penuh emosional menegaskan bahwa bermain rebana di dalam masjid merupakan perbuatan Munkar (detik.com, 6/10/2023).

Memicu Perpecahan

Ilustrasi kejadian di atas bukanlah hal baru, namun yang menjadi problem ialah sikap emosionalnya yang mengindikasikan intoleransi beragama. Padahal, para ulama terdahulu dalam banyak literatur, sudah bersepakat tentang bolehnya mempermainkan rebana. Problem demikian bukan hanya sebatas boleh atau tidaknya memainkan rebana, lebih dari itu ialah dampak dari larangan mempermainkan rebana yang bisa menyebabkan gesekan pemahaman dalam masyarakat.

Apa yang dakukan oleh oknum tersebut setidaknya akan membuat gesekan opini di kalangan masyarakat. Penggiringin opini akan mudah tersulut jika berbau agama. Dalam beberapa literatur telah banyak mengurai tentang bolehnya hadrah. Namun yang menjadi prioritas penulis dalam konteks ini ialah bagaimana menyikapi hubugan antara Islam dan seni sebagai alat pemersatu bangsa.

Di Indonesia, alat musik rebana menjadi simbol identitas Islam kultural Nusantara. Pada mulanya, Wali Songo mengadopsi hadrah dari Hadrolmaut sebagai alat berdakwah. Kemudian perkembangan musik hadrah semakin populer pasca kemerdekaan karena peran Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI). Ishari didirikan pada tahun 1959 sebagai salah satu badan otonom yang berada di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Hingga kini Rebana kerap kali digunakan ketika acara pernikahan dan maulid nabi.

Di dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah al’adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Tarik menarik antara kebudayaan dan agama memang sangatlah kentara dan kerap akali mengalami gesekan pemahaman dalam masyarakat, bahkan bisa menimbulkan perpecahan sosial. Di sinilah fungsi Fiqih sebagai penyaring dan pengokoh sangatlah bermanfaat.

Persatuan Dalam Bingkai Kebudayaan

Dalam konteks ini, rebana merupakan salah satu bentuk kesenian Islam yang eksistensinya sudah diakui di Nusantara. Dalam realitasnya, rebana telah mendapatkan tempat sangat penting dari dua kenyataan. Pertama, kekayaan warisan yang ditinggalkan dari masa lampau dan kemampuannya untuk tetap berkembang dan relavan sesuai irama zaman.

Kedua, seni rebana merupakan wahana yang sangat penting dalam pengembangan cara-cara masyarakat muslim dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya seperti tradisi hadrah dalam maulid nabi untuk menunjukkan rasa cinta pada Nabi Muhammad Saw dalam bingkai persatuan. Karena kita bukanlah generasi Islam seperti sahabat yang hidup semasa Nabi Muhammad tentu memerlukan media sebagai tambahan koneksi sebagai ekspresi beribadah.

Maka kemudian penting mengingat pendapat Gus Dur dalam bukunya Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (2001). Menurutnya, Islam memperlakukan seni sebagai bagian dari penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Seni merupakan wahana peribadatan yang dalam Islam tidak dapat dibatasi hanya pada aspek ritual dan tata cara beribadah belaka.

Larangan memainkan rebana dengan dasar kitab suci dan Hadits sangatah ironi karena cenderung memberlakukan sumber-sumber tekstual secara harfiah. Hal semacam ini akan berbahaya ketika tidak dilandasi oleh pemahaman Ijma’ dan Qiyas. Memahami agama secara tekstual akan mengalami kegamangan dan stagnasi. Agama seharusya berkembang sesuai dengan irama zaman.

Dalam perjalanannya, agama akan selalu meghadapi tarik ulur dengan kebudayaan. Terpenting dalam beragama ialah kemanusiaan dan persatuan. Artinya, pengembangan budaya dalam suatu masyarakat harus diletakkan pada jalur penumbuhan sifat-sifat persatuan yang manusiawi. Ketegangan agama dan budaya tidak melulu harus disikapi dengan emosional. Tradisi Islam yang sudah membumi harus bisa disantuni tanpa sedikit mengurangi persatuan dalam berbangsa maupun bernegara.

Facebook Comments