Kekerasan adalah perilaku manusia yang usianya setua usia peradaban manusia itu sendiri. Dalam bukuya The Roots of Violence, psikolog dan sejarawan Erich Fromm menjelaskan bahwa kekerasan tidak terjadi karena fitrah manusia, melainkan kondisi atau lingkungan yang menghambat manusia berkembang secara baik.
Hambatan itulah yang membuat manusia bertindak irasional, tidak mampu mengendalikan emosi, dan akhirnya melakukan tindakan kekerasan. Fromm mengklasifikasikan kekerasa ke dalam dua tipe.
Pertama, kekerasan yang bersifat defensif yakni perilaku kekerasan yang dilandasi motif mempertahankan diri. Kekerasan yang dilatari motif defensif ini tidak bersifat kekal atau tetap. Ketika faktor pemicu tindakan defensif itu hilang, maka praktik kekerasan pun akan dengan sendirinya ikut hilang.
Kedua, kekerasan yang bersifat agresif-destruktif, yakni perilaku kekerasan yang memang dilandasi motif menyengsarakan orang lain. Kekerasan agresif-destruktif umumnya muncul karena individu atau kelompok mengalami sindrom kepanikan eksistensialis. Jadi, mereka melakukan tindakan kekerasan untuk menunjukkan eksistensi dan dominasinya.
Jika teori Fromm tentang akar kekerasan dan klasifikasi kekerasan ini dipakai untuk membaca konflik Palestina dan Israel, maka kita akan sampai pada kesimpulan awal bahwa kedua belah pihak sebenarnya sama-sama melakukan tindakan kekerasan yang sifatnya defensif.
Serangan milisi Palestina dilakukan sebagai bentuk perjuangan mereka mencapai kemerdekaan dan kedaulatan secara penuh. Sedangkan serangan balasan militer Israel dilakukan untuk melindungi warga sipil mereka dari ancaman milisi Palestina. Hal inilah yang melatari terjadinya siklus kekerasan yang terus berulang.
Dampak Konflik di Palestina dalam Konteks Global
Meminjam istilah Dom Helder Camara, apa yang terjadi di Palestina merupakan fenomena spiral kekerasan. Yakni ketika satu kekerasan dibalas dengan kekerasan yang lebih besar sehingga menimbulkan siklus kekerasan bak lingkaran setan yang sukar diputus.
Spiral kekerasan yang terjadi di Palestina telah berdampak pada munculnya sejumlah problem berskala global. Pertama, munculnya gelombang Islamofobia di belahan dunia Barat. Konflik Palestina harus diakui telah menyumbang andil pada merebaknya sentimen kebencian terhadap muslim oleh dunia Barat yang lantas dikomodifikasi media massa.
John L. Esposito, peneliti Islam menyatakan bahwa pemberitaan masif atas konflik Palestina yang tidak berimbang oleh media Barat kerap menyulut api kebencian masyarakat Amerika dan Eropa terhadap Islam. Masyarakat Barat beranggapan bahwa Hamas adalah representasi umat Islam secara keseluruhan.
Gelombang Islamofobia telah melatari sejumlah tragedi kemanusiaan. Tidak hanya diskriminasi dan intoleransi, Islamofobia juga melatari berbagai tindakan persekusi dan kekerasan terhadap muslim terutama di dunia Barat.
Baru-baru ini misalnya, seorang kakek di Amerika Serikat menikam seorang anak perempuan muslim berkebangsaan Palestina. Perilaku itu dilatari oleh sentimen konflik di Gaza yang marak diberitakan belakangan ini.
Kedua, merebaknya ideologi keagamaan transnasional yang berkarakter radikal-ekstrem. Harus diakui bahwa polemik di Palestina telah menjadi lahan subur bagi berkembangbiaknya ideologi keagamaan radikal-ekstrem.
Para propagandis ideologi ekstrem telah menjadikan isu Palestina sebagai alat untuk membangun sentimen kebencian umat Islam terhadap golongan agama lain. Isu Palestina dimanipulasi dan dieksploitasi sedemikian rupa untuk membangkitkan ghiroh jihad fisik di kalangan umat Islam.
Peristiwa peperangan antara milisi Palestina dan militer Israel telah lama menjadi bahan propaganda yang disebar terutama di kalangan remaja dan kaum muda. Tujuannya tidak lain adalah membangkitkan kemarahan kaum muda muslim. Jika kemarahan itu berhasil dilantik, maka jalan untuk mendoktrinkan ideologi keagamaan ekstrem kian terbuka lebar.
Jalan Panjang Menuju Rekonsiliasi
Maka dari itu, spiral kekerasan di tanah Palestina harus segera diakhiri. Waktu satu abad sudah terlalu lama untuk sebuah siklus kekerasan yang terus berulang. Diperlukan sebuah kerjasama global untuk menginisiasi sebuah perundingan damai kedua belah pihak. Isu Palestina adalah persoalan kemanusiaan yang seharusnya dilepaskan dari isu identitas terutama agama.
Konflik Palestina-Israel selalu memakan korban warga sipil sudah sepatunya diakhiri dengan jalan rekonsiliasi. Yakni adanya titik temu antar-kedua belah pihak yang dilandasi oleh kesadaran dan komitmen untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan harmonis.
Tidak kalah penting dari itu adalah pentingnya menyatukan suara antara faksi-faksi politik yang ada di internal Palestina itu sendiri. Selama ini, faksi politik di Palestina seperti pemerintah dan kelompok militant seperti Hamas, Fatah, dan Jihad Islam Palestina belum satu suara ihwal mekanisme perjuangan kemerdekaan Palestina.
Sejumlah kelompok sipil menghendaki dipakainya jalan non kekerasan dalam mengakhiri konflik Palestina-Israel. Sedangkan faksi militan lebih memilih jalur konfrontasi. Perbedaan pandangan ini perlu dijembatani agar siklus kekerasan di Palestina tidak terus terulang.