Israel dalam Teks-teks Agama Islam

Israel dalam Teks-teks Agama Islam

- in Kebangsaan
138
0
Israel dalam Teks-teks Agama Islam

Ada dua perspektif utama di kalangan internal umat Islam dalam melihat peta konflik Israel-Palestina. Perspektif pertama memandang bahwa apa yang terjadi di Palestina adalah konflik antaragama: Yahudi melawan Islam. Dalam pandangan kelompok pertama ini, Islam dan Yahudi adalah dua agama yang satu sama lain memiliki misi untuk saling menaklukkan.

Perspektif kedua menyatakan bahwa akar masalah Palestina bukanlah konflik agama, melainkan perlawanan terhadap imperialisme. Akan tetapi, keyakinan inipun ujung-ujungnya menyentuh masalah-masalah agama. Sebabnya adalah, pertama, semua aliran dalam Islam sepakat bahwa perlawanan terhadap kezaliman dan penegakan keadilan termasuk salah satu ajaran penting agama Islam. Kedua, dalam konflik Palestina, yang menjadi korban adalah saudara-saudara seiman bagi kaum Muslimin. Teks Al-Qur’an pun mengajarkan prioritas utama pembelaan terhadap saudara seiman yang menjadi korban ketidakadilan.

Jadi, meskipun berbeda dalam memandang akar masalah, kedua perspektif di kalangan internal umat Islam itu tetap menempatkan agama sebagai faktor yang sangat penting. Artikel ini memaparkan sejumlah ayat Al-Qur’an yang terkait dengan sejarah Israel dan sikap buruk Bani Israel sepanjang sejarah. Ayat-ayat inilah yang sering menjadi landasan bagi kelompok yang meyakini perspektif pertama. Artikel juga menyinggung sejumlah ayat Al Quran yang justru memuji kaum Yahudi dalam kondisi-kondisi tertentu. Hal ini yang menjadi pemikiran bagi kelompok kedua yang meyakini bahwa konflik Israel Palestina bukanlah konflik antaragama.

Pujian Al-Qur’an terhadap Bani Israel

Di dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang berbicara tentang kaum Bani Israil atau Yahudi dengan pujian sehingga memunculkan citra positif. Al-Qur’an misalnya menyebut Bani Israil sebagai kaum terpilih, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah: 47,

“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas segala umat.”

Dan dalam QS. Ad-Dukhan: 32,

“Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka (Bani Israil) dengan pengetahuan (Kami) atas umat-umat lain.”

Keistimewaan Bani Israil tersebut tidak lepas dari masa lalu mereka yang berdasarkan kepada catatan sejarah Al-Qur’an, selalu terhubung dengan banyak nabi-nabi besar, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa.

Keistimewaan ini langsung ditegaskan Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah: 20,

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi di antaramu (bani Israel), dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain.”

Nabi Ya’qub menjadi sosok yang paling berpengaruh. Ya’qub adalah putera dari Ishaq, dan dialah yang memiliki gelar Israil yang bermakna ‘hamba Tuhan’. Dari gelar yang dimiliki Ya’qub inilah muncul istilah Bani Israil yang bermakna anak keturunan Israil. Jadi, mereka yang kini dikenal sebagai Israel adalah anak keturunan Nabi Ya’qub. Ya’qub memainkan peranan yang sangat penting untuk meneruskan kenabian dari trah Ibrahim. Ia juga berperan sebagai sosok yang membuat Bani Israil sebagai satu bangsa yang terpisah, terutama ketika anaknya yang bernama Yusuf memegang amanah harta kerajaan Mesir dan mempunyai dua tugas, yaitu sebagai nabi dan penguasa.

Citra Buruk Bani Israel dalam Al-Qur’an

Menurut Quraish Shihab, ada empat kata yang digunakan dalam Al-Qur’an yang menunjuk pada turunan Nabi Ya’qub, yakni Bani Israel, Israel, Yahud, dan ahli kitab. Bani Israel merujuk keturunan Ya’qub sebelum masa Nabi Muhammad. Sedangkan Yahud menunjuk pada turunan Yahuda, salah seorang dari 12 anak Ya’qub. Jika Al-Qur’an menggunakan lafaz ‘Bani Israel’ maka itu merujuk pada keturunan Nabi Ya’qub, yang baik dan yang buruk. Namun jika menggunakan kata ‘Yahud’, Al-Qur’an cenderung menyinggung sifat buruk dan sisi negatif Yahudi.

Artinya, teks-teks Al-Qur’an secara umum menggambarkan Bani Israil (dan umat Yahudi) sebagai kaum yang buruk, yaitu sebagai entitas yang dimurkai oleh Allah. Nasir Makarim Syirazi dalam Tafsir Al-Amtsal mengatakan bahwa semua ahli tafsir sepakat bahwa maksud dari frasa ‘yang dimurkai oleh Allah’ yang terdapat pada QS. Al-Fatihah adalah orang-orang Yahudi. Jadi, dalam pandangan umat Islam, Yahudi dan Israel adalah entitas yang dimurkai. Citra buruk tersebut terjustifikasi melalui ayat-ayat dalam Al-Qur’an.

Bani Israil memiliki citra sebagai orang-orang tidak memiliki integritas. Mereka menyuruh orang lain supaya berbuat kebaikan, tapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka ucapkan itu.

Sifat ini dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 44,

“Mengapa kalian menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?”

Yahudi juga digambarkan sebagai pembunuh orang-orang baik, yaitu para nabi yang diutus. Citra ini dilekatkan pada kaum Yahudi (Bani Israil) melalui QS. Al-Baqarah: 91,

“Katakanlah, ‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman?”

Citra sebagai pembunuh para nabi ini sangatlah negatif. Kaum Muslimin umumnya menggunakan penalaran yang sederhana untuk sampai kepada kesimpulan bahwa Bani Israil adalah orang-orang yang kejam. Kepada para nabi saja mereka sampai berani melakukan pembunuhan, apalagi kepada orang-orang biasa. Padahal, para nabi itu hadir di tengah-tengah mereka dengan menunjukkan sifat-sifat kebaikannya; dan padahal, para nabi itu berasal dari sanak dan kaum kerabat mereka sendiri.

Bani Israil juga dicitrakan sebagai kelompok yang rasis. Mereka digambarkan sebagai orang yang percaya bahwa mereka adalah ras yang unggul di dunia dan akhirat. Hanya karena mereka adalah keturunan Israil, mereka yakin bahwa merekalah penguasa dunia. Bahkan lebih dari itu, mereka juga percaya bahwa dengan keyahudian dan keisrailan mereka, nasib mereka di akhirat sudah terjamin sebagai penghuni surga. Hal ini ditegaskan dalam Al-Baqarah: 94-95,

“Katakanlah: ‘Jika kalian (menganggap bahwa) rumah akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka mohon segerakanlah kematian (kalian), jika kalian memang benar.”

“Dan sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang yang zalim.”

Sebuah Jalan Tengah

Pembandingan kedua citra yang ditampilkan dalam Al-Qur’an mengenai Bani Israil tersebut menunjukkan bahwa yang dikecam oleh Al-Qur’an bukanlah keyahudian atau keisrailan mereka, melainkan adanya sifat-sifat buruk yang sudah mereka tunjukkan, dan yang tetap mereka pertahankan hingga sekarang.

Kedua model citra ini tidaklah kontradiktif. Pujian Al Quran terhadap Bani Israil di satu sisi, dan kecaman atas sifat buruk mereka di sisi lain, menunjukkan bahwa secara teologis, Umat Islam tidak diperintahkan untuk membenci Yahudi (Israel) dengan alasan ras atau agama mereka, melainkan karena sifat-sifat mereka. Artinya, Al-Qur’an mengajarkan bahwa setiap individu akan dihukum atau dihargai berdasarkan perbuatan dan keimanan mereka, bukan berdasarkan identitas etnis atau agama.

Di era sekarang, perbuatan manusia bisa diukur melalui nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Tentu tetap dalam koridor ajaran agama dan tuntunan ulama. Karena itu, ketika membahas konflik Israel-Palestina, penting untuk memahami bahwa konflik ini memiliki akar yang sangat kompleks, termasuk isu-isu sejarah, politik, dan sosial. Meskipun terdapat aspek agama dalam konflik ini, harus diingat bahwa banyak umat Yahudi dan Muslim di seluruh dunia menentang atau mendukung konflik ini dengan alasan-alasan yang bervariasi. Dengan demikian, konflik Israel-Palestina tidak dapat diselesaikan hanya dengan memandangnya dari perspektif agama.

Al-Qur’an melarang umat Islam untuk membenci suatu kaum secara berlebihan sehingga menjadi berlaku tidak adil. Hikmahnya. Umat Islam perlu kepala dingin untuk memikirkan solusi yang berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina. Misalnya dengan pendekatan yang komprehensif dengan memperhitungkan isu-isu politik, ekonomi, dan sosial, serta mempromosikan nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan, dan kemanusiaan.

Facebook Comments