Siapa yang tak pernah mengenal Kertanegara, Hayam Wuruk ataupun Gajah Mada, orang-orang yang jelas-jelas tak pernah bersyahadat? Dan adakah yang memiliki prasangka bahwa mereka akan masuk neraka? Tentu pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah berada dalam pikiran kita. Kita hanya mengenal bahwa pada masa Hayam Wuruk kerajaan Majapahit, dengan konsep “Tripaksa” dimana agama Syiwa-Buddha-Brahma disatukan, berada pada puncak kejayaannya (Antara Kesatuan Wujud dan Persatuan Nasional, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Adapun pada masa Gajah Mada “Nusantara” sebagai konsep geopolitik diangankan dan direalisasikan. Dan, sekali lagi, kita tak pernah berpikir bahwa upaya-upaya ataupun jasa-jasa itu adalah sebentuk warisan kekufuran yang akan menyebabkan orang yang terilhaminya akan berujung di neraka pula.
Saya tak akan memakai dalil-dalil agama dalam menelisik persoalan tentang status kalangan non-muslim, khususnya di wilayah metafisis. Namun, dengan berkaca pada konsep “nasionalisme-religius” dan prinsip penyandaran hukum agama pada hukum nasional sebagaimana yang pernah diupayakan oleh A. Wahid Hasyim, yang secara otomatis bersinggungan pula dengan konsep agama sipil yang lazim dipraktikkan di banyak bentuk negara-bangsa, status kalangan non-muslim tak ada beda dengan status kalangan non-muslim—setidaknya secara konstitusional (Penyandaran Hukum Agama Pada Hukum Nasional, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Pada konsep agama sipil kita boleh mengandaikan bahwa apa yang dikenal dalam bahasa agama sebagai “akhirat” memiliki hubungan logis dengan dunia yang kita jalani sekarang. Ketika agama akan menghukumi para pezina dan pemabuk kelak “di sana,” misalnya, agama sipil—lewat berbagai perangkat undang-undang dan hukum positif yang diacunya—akan dapat menghukuminya di sini dan kini.
Pancasila, di samping dikenal sebagai sebentuk nalar publik yang pernah dilahirkan oleh para pendiri bangsa, pada tataran konsep masyarakat sipil, adalah juga sebentuk agama sipil yang mesti berlaku buat para warga negara yang memiliki afiliasi kegamaan yang berbeda. Selain untuk menjaga perbedaan, fungsi Pancasila lainnya adalah juga menyinggungkan perbedaan-perbedaan yang niscaya ada itu. Sehingga, sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari beragam orang dan golongan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia akan dapat berjalan secara selaras.
Ketika kesetaraan sosial-politis dapat berjalan secara ideal, tentu saja kesetaraan agamis akan dapat terangankan pula. Bukankah banyak di masa kini, misalnya, yang barangkali juga karena tuntuan zaman, kalangan Islam yang percaya bahwa agamanya bersifat “rahmatan lil ‘alamin,” dan kalangan Katolik yang percaya pula pada doktrin “keselamatan di luar Gereja”? Adakah berkembangnya keyakinan-keyakinan semacam ini terpantik pula oleh pengupayaan-pengupayaan kesataran sosial-politis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang telah berjalan puluhan tahun, atau dengan kata lain mulai tersadarkannya bangsa Indonesia akan sebuah tuntutan bahwa pertama-tama mereka adalah warganegara Indonesia dan bukannya warga Islam ataupun warga Katolik, dst.?
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam konsep negara-bangsa seperti di Indonesia, secara ideal, kesetaraan sosial-politis memiliki hubungan yang logis dengan kesetaraan agamis.