Evolusi Radikalisme di Dunia Maya dan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Gen-Z

Evolusi Radikalisme di Dunia Maya dan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Gen-Z

- in Narasi
116
0
Evolusi Radikalisme di Dunia Maya dan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Gen-Z

Seiring dengan bergulirnya fenomena disrupsi tekonologi dari model analog ke digital, segala lini kehidupan manusia pun mengalami perubahan. Tidak terkecuali penyebaran paham radikal yang juga mengalami semacam evolusi.

Di era analog, penyebaran rasikalisme dominan terjadi di dunia nyata. Infiltrasi rasikalisme lazim terjadi melalui lembaga keagamaan, institusi pendidikan, organisasi kemahasiswaan, dan sejenisnya. Transmisi ideologi radikal terjadi secara langsung person to person dan dilakukan secara tatap muka. Dalam konteks ini, jangkauan penyebaran rasikalisme menjadi terbatas. Apalagi, ketika aparat keamanan membatasi ruang gerak kelompok radikal untuk bermanuver.

Kemunculan era digital dengan revolusi teknologi komunikasinya mengubah lanskap gerakan radikal. Propaganda rasikalisme yang tadinya dilakukan secara konvensional kini mulai bergeser ke arah digital. Narasi rasikalisme hari ini dengan mudah disebarluaskan melalui kanal-kanal media sosial.

Karakter medsos yang serba cepat dan bebas membuat lahan radikal dengan leluasa menjalar kemana-mana. Meminjam istilah Gille Dwluze, virus rasikalisme di ranah digital mirip seperti rizoma alias akar rimpang yang percabangannya sangat kompleks sekaligus kuat mencengkeram ke ekosistem sosial-masyarakat.

Evolusi rasikalisme di era digital membawa konsekuensi yang tidak sedikit. Antara lain, paham radikal menjadi lebih cepat menyebar dan memiliki daya jangkau yang tidak terbatas. Hari ini, siapa pun bisa mengakses konten keagamaan radikal melalui medsos. Entah disengaja atau tidak.

Fenomena Swa-Radikalisasi Via Medsos

Hal ini membawa dampak atau konsekuensi lanjutan, yakni munculnya fenomena self-radicalisation. Di zaman analog, untuk menjadi radikal seseorang butuh semacam mentor yang mendoktrinkan tentang ajaran-ajaran ekstrem.

Sedangkan di zaman digital ini, seseorang bisa meradikalisasi dirinya melalui konten-konten yang bertebaran di dunia maya. Evolusi rasikalisme di era digital juga membuat target radikalisasi menjadi lebih spesifik.

Secara demografis, generasi milenial dan gen Z menjadi kelompok paling rawan teepapar rasikalisme. Hal ini terjadi karena setidaknya dua faktor. Pertama, kaum milenial dan gen Z dikenal sebagai kelompok yang memiliki ketertarikan dan rasa penasaran yang tinggi terhadap isu-isu keagamaan. Ironisnya, sebagian besar dari mereka tidak memiliki literasi keagamaan yang mumpuni. Alhasil, mereka kerap mencari pengetahuan agama di kanal media sosial.

Kedua, kelompok milenial dan Gen Z dikenal sangat adaptif pada dunia digital. Bahkan, pengguna internet dan media sosial hari ini didominasi oleh kelompok milenial dan gen Z. Menjadi masuk akal jika mereka dianggap sebagai kelompok paling rawan terpapar radikalisme.

Ketiga, kaum milenial dan Gen Z merupakan sasaran utama penyebaran paham radikal oleh kelompok-kelompok ekstrem. Milenial dan gen Z dianggap sebagai kelompok yang bisa melanjutkan regenerasi gerakan terorisme.

Dalam konteks inilah, agenda moderasi beragama menjadi urgen dan relevan di kalanga gen Z dan milenial. Tersebab, moderasi beragama adalah vaksin yang akan membangun kekebalan atau imunitas individu dari infiltrasi paham radikal-ekstrem. Penanaman prinsip keberagaman moderat penting bagi milenial dan gen Z agar mereka tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda radikalisme dan ekstremisme.

Redesain Kampanye Moderasi Beragama

Namun demikian, harus diakui bahwa mengarusutamakan paradigma moderasi beragama di kalangan milenial dan gen Z bukan perkara mudah. Ada kesan bahwa wacana moderasi beragama adalah isu yang elitis, segmented, akademik dan tidak mudah dicerna oleh awam. Anggapan ini sebenernya tidak sepenuhnya salah.

Seperti kita lihat, kampanye moderasi beragama selama ini memang cenderung bernuansa akademik-ilmiah. Wacana moderasi beragama lebih sering hanya digaungkan di ruang-ruang seminar yang tidak bisa diakses masyarakat awam.

Maka, perlu redesain kampanye moderasi beragama yang lebih adaptif pada selera milenial dan gen Z. Secara konkret, kampanye moderasi beragama idealnya tidak selalu hanya memakai pendekatan formal-akademik, namun juga menggunakan pendekatan yang lebih populer dan digital friendly.

Di era digital, terutama ketika sebagian besar milenial dan gen Z menghabiskan sebagian waktunya di media sosial, kampanye moderasi beragama yang digital friendly adalah sebuah kebutuhan, bahkan keniscayaan.

Maka, penting kiranya menghadirkan wacana moderasi beragama di medsos dengan bahasa yang mudah dimengerti awam. Konten medsos seperti meme, video pendek, siniar dan sejenisnya jauh lebih efektif menjangkau kalangan milenial dan gen Z ketimbang pelatihan, seminar, dan sebagainya yang cenderung membosankan bagi awam.

Penting juga kiranya kampanye moderasi beragama melibatkan influencer media sosial. Di era digital ini, influencer dengan jumlah pengikut besar di media sosial bukankah sekadar mikro-selebritis. Lebih dari itu, mereka adalah opinion maker dan trend setter yang pemikiran dan gaya hidupnya menjadi rujukan kaum muda.

Arkian, moderasi beragama harus ditanamkan di kalangan milenial dan gen Z. Lantaran, moderasi beragama adalah tameng ampuh dari infiltrasi beragam ideologi yang bertentangan dengan prinsip keindonesiaan.

Facebook Comments