Yesus dalam Alquran; Benarkah Mengucapkan Natal Menyebabkan Erosi Akidah bagi Muslim?

Yesus dalam Alquran; Benarkah Mengucapkan Natal Menyebabkan Erosi Akidah bagi Muslim?

- in Narasi
131
0
Yesus dalam Alquran; Benarkah Mengucapkan Natal Menyebabkan Erosi Akidah bagi Muslim?

Saban tahun jelang perayaan Natal, ruang publik kita riuh oleh debat musiman tentang sejumlah hal. Mulai dari bolehkah seorang muslim mengucapkan selamat Natal dan polemik seputar keberadaan simbol Natal di ruang publik; seperti topi Santa, pohon Natal, dan ornamen lainnya.

Debat musiman tentang boleh-tidaknya muslim mengucapkan selamat Natal kiranya tidak perlu diperpanjang. Larangan ucapan selamat Natal tidak lebih dari propaganda kaum radikal untuk memecah belah umat beragama. Nyatanya, mufassir sekaliber Quraisy Syihab pun membolehkan muslim mengucapkan selamat Natal.

Menurutnya, mengucapkan natal secara eksplisit ada di dalam al-Qur’an, yaitu dalam QS. Maryam 19:33, yang merekam ucapan natal Yesus, “Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”

Lebih lanjut, Quraisy Syihab juga menegaskan bahwa Allah sendiri yang memberi gelar Yesus sebagaiAl-Masihatau Mesiah yang berarti juru selamat. Di dalam Alquran, kata Yesus sebagai juru selamat itu diulang sebanyak 11 kali.

Secara umum, Yesus atau Isa disebut sebanyak 90 kali dalam 15 surat berbeda. Ini menandakan bahwa Yesus dan agama Kristen memiliki kedekatan historis dan teologis dengan Islam. Bahkan, bagi umat Islam mengimani Yesus dan kebenaran Injil adalah salah satu prasyarat lengkapnya iman seseorang.

Kabar tentang kelahiran Yesus direkam oleh al-Qur’an dalam kegelisahan bunda Maria. Dalam QS. Maryam 19:20, bunda Maria berkata,“Bagaimana akan ada bagiku seorang anak, sedang aku belum pernah disentuh seorang laki-laki pun (suami) dan tiadalah aku perempuan jahat”.

Hal senada juga terdapat dalam Injil Lukas 1:34, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami”. Kegelisahan bunda Maria tersebut segera dijawab oleh Allah dalam QS. Al-Tahrim 66:12, “Dan Maryam putri Imran, yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya dan adalah dia termasuk orang yang taat”.

Sedangkan dalam QS. Maryam 19:21 disebutkan, “Demikianlah, Hal itu mudah bagi-Ku. Kami hendak menjadikannya sebagai tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan adalah urusan itu telah ditetapkan”. Jawaban serupa juga terdapat dalam Lukas 1:35, “Roh kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang maha tinggi akan menaungi engkau”.

Selamat Natal dan Rekonsiliasi Sosial Islam-Kristen

Intinya, terdapat banyak sekali rujukan yang otoritatif dan pendapat para ulama yang menyatakan hukumal-ibahah(kebolehan) mengucapkan selamat hari natal karena tidak ada satupun dalil yang melarangnya. Dan untuk sekadar mengucapkan selamat natal bukan berarti membuat seorang muslim secara otamatis murtad (keluar dari agama Islam).

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh umat Islam tidak melanggar syariat. Mengucapkan selamat Natal juga tidak lantas menyebabkan terjadinya erosi akidah bagi muslim. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ucapan selamat Natal itu bukan pernyataan teologis bahwa kita mengakui konsep keimanan dan ketuhanan mereka.

Ucapan Selamat Natal, menurut Gus Dur adalah ekspresi sosiologis kita sebagai sesama warganegara. Ucapan selamat natal adalah sikap affirmative action terhadap kelompok agama minoritas sebagai wujud toleransi dan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Sikap yang demikian ini, menurut Gus Dur sangat penting untuk merawat kerukunan dalam bingkai kemajemukan di Indonesia.

Ungkapan Gus Dur ini relevan. Mengingat bahwa tidak ada seorang muslim yang tiba-tiba menjadi Kristen hanya karena mengucapkan selamat Natal. Di dalam agama Kristen sendiri, untuk menjadi umat Kristiani yang baik itu tidak mudah. Ada beragam tahapan yang harus dilalu. Semisal katekisasi, pembaptisan, dan lain sebagainya.

Ke depan, yang wajib umat beragama (Islam dan Kristen) lakukan adalah mengintensifkan dialog keagamaan untuk mengeliminasi segala kecurigaan yang selama ini mewarnai relasi kedua agama. Harus diakui, hubungan Islam dan Kristen memang mengalami pasang-surut dari masa ke masa.

Di masa dakwah Rasulullah, relasi Islam-Kristen bisa dikatakan sangat baik. Di banyak wilayah kekuasaan muslim, umat Kristen bebas beragama dan beribadah tanpa diskriminasi apalagi intimidasi. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, konflik Islam dan Kristen pun tidak terelakkan.

Pecahnya Perang Salib antara tentara Islam dan Kristen dari abad ke-15 hingga 17 telah menyisakan luka dan trauma pada kedua pihak. Alhasil, relasi agama keduanya kerap diwarnai kecurigaan bahkan kebencian.

Larangan mengucapkan selamat Natal selain muncul karena doktrik puritanisme agama kaum radikal, sepertinya juga muncul dalam konteks kebencian yang dilatari konflik di masa lalu tersebut.

Maka, tidak ada jalan lain selain melakukan rekonsiliasi sosial demi menyembuhkan trauma yang disebabkan konflik di masa lalu. Saling mengucapkan selamat di hari besar masing-masing agama (Islam dan Kristen) adalah bagian dari rekonsiliasi sosial dan penyembuhan trauma atas konflik masa lalu tersebut.

Facebook Comments