Teks suci di dalam Al-Qur’an itu akan terus relevan (kontekstual) di tengah perubahan zaman. Sebagaimana, kita akan menyambut (zaman baru) tahun baru 2024. Era di mana, kita memiliki komitmen bersama untuk hidup harmonis di tengah keragaman.
Maka, tahun baru harus ada interpretasi baru. Dari teks ayat perang yang cenderung destruktif di tahun-tahun yang lalu. Menuju interpretasi baru ke konteks kasih-sayang di tengah keragaman.
Tahun 2024 harus membangun re-interpretasi fungsi destruktif ayat perang itu. Karena banyak ayat-ayat perang yang masih dipahami secara stagnan dengan tafsiran lama. Hingga berfungsi secara destruktif untuk memusuhi dan menzhalimi umat agama lain.
Ayat perang yang harus ada interpretasi baru adalah (Qs. At-Taubah:29) “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk”.
Interpretasi baru ini, mengacu ke dalam penekanan (Qs. At-Taubah:29) dengan melihat (setting sosial) di mana ayat itu datang. Yaitu, situasi Nabi Muhammad SAW ke dalam perang Tabuk. Nabi ingin diperangi oleh kekuatan Romawi dan perintah (perangi) Nabi mengajak seluruh umat Islam dan para Kabilah-Kabilah untuk (mempertahankan diri).
Pemahaman kontekstual ayat di atas, sejatinya kita perlu yang namanya (pemahaman baru). Sebab, ayat perang dalam (Qs. At-Taubah:29) bukan prinsip hukum yang permanen. Karena ini terdapat kisah di masa lalu. Di mana Nabi dengan pasukannya ketika sampai di Tabuk, daerah utara Madinah berbatasan dengan Yordania/Syam. Pasukan Romawi tiba-tiba memilih mengosongkan Tabuk dan pergi ke pedalaman.
Tafsiran baru untuk kita saat ini (re-interpretasi) adalah menggugurkan status jihad memerangi non-muslim itu. Sebab, di era saat ini, tidak ada satu-pun non-muslim yang berupaya untuk memerangi. Sebagaimana konteks ayat tersebut ada masa/kondisi umat Islam ingin diperangi semata (membela diri) dalam perang Tabuk tersebut.
Dari Ayat Perang Menuju Kasih-Sayang
Secara re-interpretatif, ayat peperangan dalam (Qs. At-Taubah) itu sebetulnya lebih relevan untuk memerangi kaum perusak dan pelanggaran kemanusiaan yaitu kelompok radikal-intolerant. Karena mereka adalah (kaum) yang melanggar ajaran-Nya. Sebagaimana, dalam sejarah ayat perang dalam kisah perang Tabuk, umat Islam perlu memerangi orang-orang yang menyalahi aturan seperti kelompok radikal-teroris itu saat ini.
Maka, di sinilah pentingnya re-orientasi dari ayat perang ke kasih-sayang. Jadi, jihad peperangan yang relevan saat ini adalah menjaga keharmonisan dan kasih-sayang di tengah perbedaan. Kita saat ini di tahun baru, perlu memerangi kelompok dan propaganda yang ingin memecah-belah kita.
Karena Tuhan di dalam teks suci selalu mencintai perdamaian dan anti perpecahan. Seperti dalam (Qs. Ali-Imran:103) “Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya pada tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara”.
Tahun baru harus membangun tafsiran baru. Bagaimana, ayat perang dapat di tafsir ulang dengan pemahaman baru yang cenderung menjunjung cinta dan kasih-sayang di tengah keragaman. Seperti dari pemahaman memerangi non-muslim berganti menjadi memerangi orang-orang yang zhalim gemar merusak rumah ibadah agama lain. Dimutlakkan dalam (Qs. Al-Baqarah:114) “Lalu, siapakah yang tepat dianggap lebih zhalim dari pada orang-orang yang berusaha melarang, menghalangi disebutnya nama Tuhan di tempat ibadah dan berusaha menghancurkan tempat tersebut”.