Tantangan Bangsa di Era Multipolar; Dari Konflik Global ke Ilusi Kebangkitan Khilafah

Tantangan Bangsa di Era Multipolar; Dari Konflik Global ke Ilusi Kebangkitan Khilafah

- in Narasi
139
0
Tantangan Bangsa di Era Multipolar; Dari Konflik Global ke Ilusi Kebangkitan Khilafah

Pasca berakhirnya Perang Dingin (Amerik dan Uni-Sovyet) tatanan dunia tidak lagi bipolar. Kemenangan Amerika yang ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet menandai era baru dunia modern. Francis Fukuyama bahkan menyebut bahwa kemenangan Amerika ini menandai berakhirnya sejarah (the end of history). Artinya, dunia akan bergerak ke arah unipolar dimana Amerika menjagi pemimpinnya.

Namun, tesis Fukuyama itu tidak terbukti. Hari ini, dunia justru bergerak ke arah era multipolar. Yakni kondisi ketika kekuatan dunia tidak lagi ada di tangan satu kekuasaan negara saja, melainkan terdistribusi ke dalam banyak aktor (state or non-state) dan semuanya saling berkompetisi untuk mewujudkan kepentingannya masing-masing.

Dunia multipolar adalah dunia dimana setiap kekuatan ideologi, politik, ekonomi, dan budaya yang direpresentasikan oleh sejumlah negara saling memainkan strateginya untuk meraih dominasi global. Dunia yang mengarah ke era multipolar itu menghadirkan beragam tantangan yang tidak ringan.

Dalam konteks kebangsaan, kita menghapi setidaknya dua tantangan besar di era multipolar ini. Pertama, ancaman konflik global yang berdampak baik langsung maupun tidak langsung bagi bangsa Indonesia.

Kita melihat sendiri bagaimana perang Rusia dan Ukraina berdampak langsung pada sektor ekonomi di Indonesia. Antara lain, lemahnya nilai tukar rupiah, hilangnya pasar ekspor, melemahnya pasar modal, dan naiknya harga minyak dunia.

Imajinasi Kebangkitan Khilafah di Era Kontemporer

Kedua, kebangkitan khilafah (imperium Islam berskala global). Pasca ambruknya Turki Usmani di 1924, imajinasi kebangkitan khilafah islamiyyah tampaknya belum musnah. Imajinasi itu terus didaur ulang oleh segelintir kalangan muslim.

Terakhir, imajinasi itu direpresentasikan dengan berdirinya khilafah islamiyyah yang berpusat di Suriah dan Iraq pimpinan Abu Bakar al Baghdadi. Media Barat menyebut gerakan itu sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) atau ISIL (Islamic State of Iraq and Levithan) atau DAISH (Daulah Islamiyyah Al Iraq Al Syam).

ISIS, ISIL, DAESH, atau apa pun sebutannya, pada dasarnya adalah gerakan politik dengan mengatasnamakan Islam. Klaim ISIS bahwa mereka menegakkan syariah demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi muslim di seluruh dunia adalah ilusi.

ISIS tidak ubahnya milisi teror yang menghalalkan cara apa pun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka menguasai ladang minyak dan menjual hasilnya dengan harga murah di pasar gelap. Konsumennya kebanyakan adalah negara-negara Barat yang kerap mereka tuding kafir.

ISIS menguasai bank-bank di Iraq dan Suriah dan melakukan praktik pencucian uang untuk kepentingan para pejabatnya. Siapa pun yang menolak tunduk akan dibunuh, disiksa, dan para perempuannya dijadikan budak seks, bahkan dilelang di muka umum.

Ironisnya, banyak muslim termasuk WNI kepincut propaganda ISIS. Mereka rela meninggalkan negaranya untuk bergabung ISIS. Sesampainya disana, mereka sadar janji ISIS itu sekedar ilusi dan utopia.

ISIS memang telah bangkrut. Al Baghdadi tewas ditembak. Ibu Kota Isis, Raqqah dan wilayah lain, berhasil diambil alih. Para pendukungnya pun hidup kapiran di berbagai kamp pengungsian. Namun, Namun, sebagai ideologi ISIS tampaknya belum mati. Api imajinasi tentang kebangkitan khilafah tampaknya masih menyala.

Pentingnya Penguatan Literasi Keagamaan bagi Umat Islam

Kini, di tahun 2024 ini imajinasi kebangkitan khilafah mencuat kembali menunggangi momen satu abad runtuhnya dinasti Turki Usmani. Para simpatisan khilafah islamiyyah meyakini 2024 adalah momentum kebangkitan khilafah. Di Indonesia, keyakinan itu lantas disangkutpautkan dengan momentum penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres.

Dalam keyakinan para pengasong khilafah, Pemilu atau Pilpres adalah praktik kafir dan taghut karena tidak sesuai ajaran Islam. Mereka pun menyebar narasi dan propaganda negatif tentang Pemilu dan Pilpres. Mulai dari ajaran golput sampai boikot ajang pesta demorkasi lima tahunan tersebut.

Propaganda boikot Pemilu dan Pilpres ini akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik pada pemerintahan yang sah. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin muncul gerakan pembangkangan sipil yang bisa dieksploitasi oleh kelompok pengasong khilafah untuk mencetuskan gerakan makar.

Di titik inilah penting kiranya bagi umat Islam Indonesia untuk tidak mudah termakan provokasi dan propaganda para pengasong khilafah. Kita patut belajar dari kegagalan ISIS; bahwa imajinasi kebangkitan khilafah tidak lebih dari ilusi dan utopia. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan dan keadilan, imajinasi khilafah yang diusung oleh ISIS hanya menyisakan tragedi kemanusiaan yang tragis.

Pemahaman atas sejarah politik dan pemerintahan Islam dari masa ke masa menjadi mutlak bagi umat Islam hari ini. Umat Islam yang melek sejarah tidak akan mudah disesatkan pandangannya oleh narasi propaganda kaum pengasong khilafah. Penguatan literasi keagamaan, terutama soal sejarah dan dinamika politik dan pemerintahan dalam Islam itu akan menjadi tameng umat Islam dari propaganda kebangkitan khilafah.

Facebook Comments