Ada dua bentuk kekufuran menjelang pemilu 2024 yang harus kita sadari dan perlu kita hindari. Pertama, mengajak kita untuk membangkang (bughat) yakni menolak demokrasi dengan menganggap demokrasi kufur. Kedua, pola narasi perpecahan di tengah perbedaan pilihan politik pada pemilu yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Di dalam prinsip ketauhidan, kufur berarti mendustakan segala sesuatu yang diperintah mau-pun yang dilarang oleh-Nya. Misalnya, kita dituntut oleh-Nya untuk taat kepada pemimpin. Dalam basis teologis, ati’ullaha wa ati’ur-rasull wa ulil amri mingkum dengan segala bentuk sistem bernegara secara sah yang telah disepakati bersama.
Proses pencapaian dari perintah taat pada ulil amri adalah bentuk ketundukan kita pada sistem bernegara yang ada. Seperti penerimaan atas sistem demokrasi sebagai proses pengangkatan ulil amri di negara ini berdasar kesepakatan bersama dan ini tidak boleh diganggu-gugat.
Kekufuran 1: Bughat
Maka, segala bentuk gerakan pembangkangan (bughat) menolak demokrasi dalam proses pemilu itu merupakam bentuk kekufuran yang nyata. Karena taat pada pemerintahan yang sah berarti taat pada segala bentuk (sistem bernegara) yang telah sah disepakati.
Jika ada yang bertanya, apakah demokrasi dalam pemilu bertentangan dengan hukum Islam? Islam memang tidak pernah berbicara tentang demokrasi secara tekstual. Namun secara epistemologis, akar dari syariat demokrasi sebetulnya berpijak pada prinsip (musyawarah). “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka” (Qs. Al-Syura:38).
Di dalam Islam, tradisi musyawarah sebagai bentuk dari penyelesaian suatu persoalan. Bahkan di dalam membangun ijtihad hukum di tengah tantangan zaman, semua bisa dilakukan dalam bentuk musyawarah, dalam bentuk bahtsul matsa’il misalnya.
Begitu juga dengan proses ijtihad pengangkatan pemimpin. Musyawarah adalah hal yang paling penting. Karena kebajikan kebebasan ekspresi menuntut semua pihak bersuara untuk menentukan pilihannya. Karena pemimpin dari rakyat untuk rakyat, sehingga perlu adanya proses selektif agar bisa membawa keadilan, kejujuran dan kemapanan melalui demokrasi itu.
Kekufuran 2: Perpecahan
Sebagaimana di dalam argument awal, kufur berarti mendustakan segala sesuatu yang diperintah mau-pun yang dilarang oleh-Nya. Kita tahu, hal yang sangat dilarang oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an adalah perpecahan. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) dan janganlah kamu bercerai-berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) ber-musuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka” (Qs. Ali-Imran:103).
Secara prinsip syariat, kufur berarti segala sesuatu yang telah dilarang lalu didustakan. Sebagaimana, orang yang gemar memecah-belah, mereka masuk dalam kategori kekufuran yang nyata di dalam Islam. Kelak, jari-jemari kita yang men-share narasi perpecahan di sosial media akan menjadi saksi di mahsyar sebagai tindakan kekufuran yang nyata.
Kekufuran yang nyata bukanlah terletak pada aktivitas demokrasi dalam pemilu itu sendiri. Tetapi, kekufuran yang nyata ketika demokrasi dalam pemilu kita jadikan jalan untuk memecah-belah umat. Sebab, menyikapi pemilu dengan tetap menjaga persaudaraan dan tidak berpecah-belah, adalah bagian dari (tunduk, patuh dan beriman) kepada sesuatu yang dilarang oleh-Nya dan rasul-Nya untuk tidak didustakan.
Jadi, tuduhan demokrasi kufur pada dasarnya lebih tepat sebagai manipulasi yang destruktif. Mereka berupaya menyembunyikan atau dijadikan sebagai penghalang kita menjalankan prinsip kemaslahatan, kebaikan dan keadilan bagi bangsa ini dalam mengangkat pemimpin lewat demokrasi.
Seperti yang disampaikan dalam AL-Qur’an bahwasanya “Jangan kamu jadikan nama (Allah) dalam sumpahmu sebagai penghalang dari berbuat baik, bertakwa dan menciptakan kedamaian di antara manusia, Allah Maha Mendengar lagi maha mengetahui” (Qs. Al-Baqarah:224).
Perhelatan demokrasi dalam pemilu yang dijalankan secara damai dan tolerant adalah perintah Tuhan yang akan mendapatkan dua kebaikan. Kebaikan pertama, kita bisa mengangkat pemimpin yang akan mengatur tatanan agar membawa maslahat. Kebaikan kedua, kita bisa menjaga tatanan sesuai dengan perintah-Nya dalam menjaga baldatun tayyibatun agar tetap berada dalam pengampunan Tuhan (warabun ghafur) yakni tatanan yang tidak berpecah-belah.
Menjadi umat beriman berarti harus taat kepada sesuatu yang dilarang dan sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana, kita dianjurkan untuk tidak “menyerupai” orang-orang yang gemar menebar perpecahan. “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang berat” (Qs. Ali-Imran:105).
Sesuatu yang dianjurkan oleh Tuhan harus kita patuhi dan jika kita melanggar maka itu sebagai bagian dari bentuk kekufuran. Misalnya, di dalam (Qs. Al-Hujurat:10) kita dituntut untuk menjaga persaudaraan. “Orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) antar kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat”.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa kekufuran yang nyata itu bukan demokrasi dalam perhelatan pemilu. Tetapi, kekufuran yang nyata dan tak bisa ditolerir di dalam Islam itu ada dua. Yaitu pembangkangan (bughat) atas sistem pemerintahan yang sah dan perilaku pemecah-belah yang harus kita perangi.