Ketidakpuasan politik adalah suatu hal yang wajar dalam kontestasi demokrasi. Prof. Mahfud MD pernah menyatakan bahwa orang yang kalah dalam kontestasi politik cenderung menuduh penyelenggaraan pemilu dengan narasi kecurangan. Namun, hal ini seharusnya menjadi bagian dari mekanisme demokrasi untuk mengontrol hasil pemilu.
Pada dasarnya, ketidakpuasan tersebut dapat diungkapkan melalui mekanisme konstitusional. Pelaporan ke Bawaslu, DKPP, dan MK adalah langkah yang dapat diambil untuk menggugat hasil pemilu yang dianggap tidak sesuai dengan aturan. Ketidakpuasan yang disuarakan melalui jalur konstitusional adalah bentuk kematangan politik yang harus diapresiasi.
Elite politik memainkan peran penting dalam mengelola ketidakpuasan politik. Pernyataan dan tindakan mereka di tengah publik dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap hasil pemilu. Oleh karena itu, sebaiknya mereka tidak mendramatisasi atau menggiring opini publik dengan narasi bahwa pelaksanaan pemilu telah gagal.
Pembangkangan dalam Sejarah Islam: Tragedi Khawarij
Sejarah Islam mencatat tragedi Khawarij, kelompok yang awalnya adalah pendukung Ali. Namun, ketidakpuasan mereka terhadap hasil arbitrase politik antara Ali dan Muawiyah membuat mereka membentuk kelompok sendiri. Pembangkangan luar biasa ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana ketidakpuasan yang tidak terkelola dengan bijak dapat menciptakan konflik internal yang merugikan umat.
Polarisasi dalam kontestasi politik sejatinya terletak pada tingkat pendukung. Para elite politik dapat bergabung dan berkompromi, tetapi pendukung seringkali menampakkan militansi dan fanatisme yang buta terhadap keyakinan mereka. Ketika pertandingan berubah dari para elite ke para pendukung, kontestasi tidak pernah usai.
Lihatlah bagaimana Khawarij sebagai pendukung berubah menjadi kelompok sendiri dan terus melancarkan serangan ketidakpuasaan terhadap politik. Lebih parah lagi, kelompok ini semakin liar dan memutuskan permusuhan kepada kedua belah pihak. Khawarij menjadi salah satu kelompok yang tidak segan membangkang kepada pemerintahan yang sah.
Pelajaran dari kontestasi politik sebelumnya juga menjadi penting. Pemilu telah usai, tetapi perdebatan antar pendukung seakan tiada habisnya. Mereka terus melancarkan serangan demi serangan antar pendukung yang seolah perang adalah keabadian. Kenapa itu terjadi?
Tingkah polah elite politik yang tidak dewasa menularkan ketidakdewasaannya terhadap masyarakat. Masyarakat hanyalah korban dari permainan para elite yang tidak dewasa dalam menerima hasil politik. Mereka menjadi rakyat sebagai biduk permainan untuk dimobilisasi, dieksploitasi dan dikerahkan demi tujuan politik mereka.
Kedewasaan Politik Elite sebagai Solusi
Situasi semacam ini harus diakhiri dengan mengandalkan kedewasaan politik para elite. Para pemimpin harus belajar menerima hasil sebagai negarawan sejati. Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik pendukungnya agar tidak larut dalam fanatisme buta. Merajut satu kesatuan dalam memajukan politik yang ada harus menjadi fokus, bukan memprovokasi pendukungnya yang dapat menimbulkan kebencian dan perpecahan pasca pemilu. Ketidakpuasan politik adalah bagian alami dari proses demokrasi.
Namun, untuk mencapai stabilitas pasca pemilu, peran para elite politik sangat krusial. Dengan mengandalkan kedewasaan politik, mereka dapat membimbing masyarakat untuk menerima hasil pemilu dengan lapang dada. Sebuah politik yang matang dan responsif terhadap aspirasi rakyat adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan yang berkelanjutan.