Ada pepatah lama yang mengatakan bahwa ideologi itu tidak akan pernah mati selama masih ada orang yang meyakininya. Pepatah itu kiranya relevan ketika kita membincangkan tentang khilafah Islamiyyah. Meski organisasi pengusungnya yakni Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI telah dibekukan dan dilarang pemerintah sejak 2017 lalu, namun ideologinya tidak pernah benar-benar mati.
Bahkan, HTI pun melakukan reinkarnasi ke dalam sejumlah gerakan baru. Pasca dibubarkan pada tahun 2017, para eksponen HTI segera membentuk organisasi barnama Komunitas Royatul Islam atau disingkat Karim.
Komunitas ini menyasar kalangan remaja dan anak muda, mulai dari sekolah menengah pertama hingga menengah atas. Mereka masuk melalui kegiatan rohis di sekolah-sekolah maupun organisasi kepemudaan seperti pemuda masjid dan sejenisnya.
Karim tersebar di banyak wilayah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Banten, Tangerang, dan sejumlah kota di Jawa Timur. Salah satu ciri khas mereka adalah membawa bendera hitam atau putih bertuliskan dua kalimat syahadat. Bendera yang juga kerap muncul dalam acara-acara HTI dan diklaim sebagai roya alias bendera Rasulullah.
Meski berbeda nama, namun tujuan Karim dan HTI ini sama; menegakkan khilafah Islamiyyah. Di lapangan, Karim banyak eksis di sekolah Islam bertipe full day school dimana anak didik berada di sekolah sampai sore hari.
Hal ini tentu ironis. Orang tua menitipkan anaknya ke sekolah full day school dengan harapan mendapatkan ilmu umum sekaligus agama, namun justru didoktrin ideologi radikal. Eksistensi Karim ini tidak bisa dipandang sepele. Dalam beberapa peristiwa politik nasional, seperti demontrasi 212 di Jakarta, komunitas ini terlibat aktif dalam pengorganisasian massa.
Propaganda HTI di Perguruan Tinggi
Lain Karim, lain pula Gema Pembebasan, organisasi kemahasiswaan yang menjadi sayap dari HTI. Meski HTI dibiarkan, namun Gema Pembebasan tetap aktif di kampus-kampus menyebarkan ideologi khilafah.
Kegiatan utama mereka adakan indoktrinasi dan kaderisasi melalui kegiatan bertajuk liqo. Sasaran utama mereka tentu mahasiswa-mahasiswa di kampus ternama sns jurusan yang terbilang favorit, seperti teknik, kedokteran, dan sejenisnya. Sasaran mereka adalah menggaet mahasiswa cerdas dan berasal dari kalangan kelas menengah atas.
Gema Pembebasan memang telah ada sejak tahun 2004. Namun, pasca HTI dibubarkan tahun 2017 Gema Pembebasan menjelma menjadi satu-satunya organisasi pengusung khilafah dengan jaringan nasional. Gema Pembebasan hampir selalu ada di kampus-kampus bonafide seperti UI, UGM, ITB, IPB, Undip, Universitas Brawijaya, UNAIR dan kampus besar lainnya. Keberadaan Gema Pembebasan di sejumlah kampus juga sulit dianulir, karena ada sejumlah oknum dosen yang juga menjadi simpatisan khilafah. Kondisi ini tentu ironis, dan merupakan ancaman serius jika disikapi secara permisif.
Selain Karim dan Gema Pembebasan, reinkarnasi HTI juga tampak pada munculnya sejumlah pagelaran keislaman yang menghadirkan tokoh-tokoh eks HTI atau pesohor yang dikenal simpatik pada gerakan khilafah. Yang terbaru adalah acara bertajuk “Metamorfoshow; It’s Time to be One Ummah” yang diadakan pada tanggal 17 Februari 2024.
Sinergi Ormas Islam Moderat Membendung Kebangkitan HTI
Acara yang digelar di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah itu dikemas dalam berbagai segmen. Antara lain talkshow, konser musik, dan stand up comedy. Acara ini juga menghadirkan narasumber antara lain Ismail Yusanto (eks jubir HTI) dan sejumlah tokoh lain yang dikenal kerap mempromosikan khilafah.
Acara yang ijin awalnya adalah peringatan Isra Miraj itu diikuti oleh 1200an peserta yang kebanyakan adalah generasi Z. Rencananya, acara ini akan digelar seperti roadshow di sejumlah kota di Indonesia. Beruntung, acara ini viral di media sosial dan aparat pun mengendus adanya peran HTI di balik acara tersebut.
Metamorfoshow sebenarnya bukan rencana baru. Sebelumnya, telah banyak acara keagamaan yang di dalamnya berisi doktrin tentang hijrah, khilafah, dan ummah. Acara tersebut biasanya dikemas dalam bentuk besah buku, festival keagamaan, bazar produk halal, dan sejenisnya.
Cara ini relatif bisa diterima oleh masyarakat, utamanya generasi Z, dan tentunya bisa lolos dari pengawasan aparat. Tersebab, acara-acara tersebut tidak secara eksplisit menyebut kata khilafah, dan dikemas dalam kegiatan yang menghibur dan dekat dengan gaya hidup kaum milenial serta gen Z.
Reinkarnasi HTI ke dalam beragam bentuk organisasi dan kegiatan ini tentu patut diwaspadai. Jangan sampai kita kecolongan atas manuver para pengasong khilafah. Mereka akan melakukan apa saja untuk menyebarkan ideologinya. Bahkan, dengan mengalebauhi aparat keamanan dan pengawasan publik.
Maka, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam mendeteksi setiap gejala kebangkitan HTI dan ideologi khilafahnya. Aparat kepolisian tidak boleh lembek menyikapi fenomena seperti Metamorfoshow. Secara hukum, HTI dilarang melakukan kegiatan apa pun. Jika benar ada keterlibatan HTI dalam acara tersebut, maka langkah hukum harus diambil agar menimbulkan efek jera.
Selain itu, masyarakat harus terus membangun mekanisme deteksi dini terhadap manuver eks-HTI. Seluruh komponen masyarakat terutama ormas keislaman moderat seperti NU dan Muhammadiyah harus bersinergi menutup ruang gerak kaum pengasong khilafah. Di saat yang sama, NU dan Muhammadiyah harus merangkul generasi Z dengan pendekatan populer dan digital friendly.