Sekolah idealnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Namun, ironisnya belum semua sekolah memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswanya. Maraknya kasus bullying alias perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi di sekolah ibarat tinta hitam yang mencoreng wajah pendidikan kita.
Perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi adalah tiga dosa besar dunia pendidikan yang dilatari oleh faktor yang kompleks alias tidak tunggal. Selain karena relasi kuasa yang timpang, perundungan kerap terjadi sering disikapi permisif. Bahkan, perundungan kerap dinormalisasi sebagai bagian dari tradisi.
Begitu juga, kekerasan seksual di institusi pendidikan marak terjadi karena kurangnya kesadaran civitas akademika ihwal batas-batas atau penghargaan terhadap kedaulatan perempuan. Mirisnya, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan juga kerap menguap tanpa penyelesaian hukum.
Terakahir, problem intoleransi beragama di institusi pendidikan kita dilatari oleh banyak hal. Mulai dari aturan atau regulasi diskriminatif, rendahnya kesadaran tentang kebinekaan, sampai maraknya paham radikal dan ekstrem di institusi pendidikan kita.
Kemendikbud sebagai pemangku kebijakan pendidikan nasional tentu tidak tinggal diam menyikapi fenomena tersebut. Dikeluarkannya Permendikbud No. 46 tahun 2023 merupakan bentuk nyata komitmen pemerintah dalam menghapus tiga dosa besar di dunia pendidikan tersebut.
Urgensi Merdeka Belajar buruk Mengatasi Tiga Dosa Besar Pendidikan
Selain payung hukum tersebut, Kemendikbud juga mencanangkan program Merdeka Belajar sebagai upaya mengatasi fenomena perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi di insrudsi pendidikan. Merdeka Belajar mengandung filosofi bahwa setiap anak didik memiliki hak dan kebebasan dalam berpikir dan berekspresi.
Jika merujuk pada teori filsafat pendidikan, model kurikulum Merdeka Belajar ini mirip dengan konsep pendidikan yang digagas oleh filosof Ivan Illich. Setelah gagasannya dalam buku Deschooling Society banyak dikritik lantaran dianggap tidak solutif, Illich menawarkan model pendidikan merdeka.
Inti dari gagasan Illich tersebut adalah memberikan keleluasaan pada siswa dalam belajar, termasuk memilih materi (subyek pembelajaran) sekaligus strategi atau metode pembelajaran. Sedangkan guru atau sekolah hanya menjadi pendamping alias fasilitator pembelajaran.
Spirit Mereka Belajar pada dasarnya mirip dengan gagasan Ivan Illich tersebut. Bedanya, kurikulum Mereka Belajar juga fokus pada bagaimana menciptakan ekosistem pendidikan yang ramah anak dan steril dari perundungan, kekerasan seksual, serta intoleransi. Lalu, bagaimana idealnya kurikulum Merdeka Belajar ini diimplementasikan dalam pembelajaran?
Yang pertama dan terpenting tentunya adalah memperkuat pendidikan karakter. Bagaimana pun juga, pendidikan karakter salah modal sekaligus fofnasi utama memberikan generasi berkualitas yang toleran dan anti-kekerasan.
Meski demikian, kita perlu merevitaliasi model pendidikan karakter yang selama ini diterapkan dan cenderung kaku atau formalistik. Model pendidikan karakter yang berbasis pada hukuman (punishment) pada anak yang melanggar kiranya sudah tidak relevan dengan karakter generasi Z saat ini.
Pendidikan karakter kepada gen Z idealnya dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sosio-kultural. Dalam konteks Indonesia, kearifan lokal Nusantara yang begitu kaya kiranya bisa menjadi pendukung pendidikan karakter anak.
Selain penguatan pendidikan karakter, hal yang tidak pentingnya adalah penguatan moderasi beragama. Ini penting untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang toleran dan inklusif pada perbedaan agama.
Apalagi di tengah derasnya arus infiltrasi paham radikal ekstrim di sekolah dan universitas. Penguatan moderasi beragama akan mengabdi semacam vaksin bagi virus radikalisme keagamaan. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan kiranya perlu menjalin kerjasama dengan organisasi keagamaan atau organisasi kemasyarakatan yang konsern pada isu moderasi beragama.
Revitalisasi Sekolah dan Guru, Kunci Kesuksesan Merdeka Belajar
Keberhasilan kurikulum Merdeka Belajar tentu menuntut adanya perubahan radikal dari institusi pendidikan maupun guru sebagai ujung tombak pembelajaran di kelas. Sebagai institusi pendidikan, sekolah wajib memastikan bahwa setiap peserta didik mendapatkan haknya tanpa adanya diskriminasi berbasis apa pun.
Konkretnya, sekolah sebagai lembaga tidak boleh mengeluarkan aturan yang berpotensi membuat jalan bagi praktik Intoleransi, perundungan, maupun kekerasan seksual. Di saat yang sama, sekolah harus aktif mensosialisasikan kesadaran akan pentingnya perilaku toleran dan anti-kekerasan.
Mengapa sosialiasi ini penting. Tersebab, banyak kasus kekerasan seksual, intoleransi, dan bullying terjadi, karena baik pelaku atau korban tidak menyadari sepenuhnya perilaku tersebut. Selain itu, peningkatan kualitas guru juga urgen dalam menyukseskan kurikulum Merdeka Belajar.
Di kurikulum Merdeka Belajar, peran guru sebagai the centered of learning harus digeser menjadi fasilitator atau pembimbing peserta didik. Selain adaptasi, guru juga dituntut untuk meningkatkan kompetensi.
Jika merujuk pada konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara, kurikulum Mereka Belajar ini bisa diringkas ke dalam tiga “N”. Pertama, Niteni alias memahami atau mendalami sebuah materi pembelajaran secara komprehensif. Alias tidak hanya di permukaan, namun sampai ke aspek fundamentalnya.
Kedua, Nirokke alis meneladani nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan yang didapatkan di sekolah. Di titik ini, para guru harus bisa menjasi role model bagi anak didiknya. Dan ketiga, Nambahi dalam artian berinovasi menciptakan hal baru dari apa yang sebelumnya telah dipelajari. Konsep Nambahi ini merupakan puncak dari rujuan pendidikan, yakni berkreasi dan berinovasi untuk memecahkan persoalan manusia.