Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia agar beriman/bertakwa kepada-Nya. Tetapi, Al-Qur’an juga mendidik manusia agar dapat menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain.
Secara reflektif, ayat pendidikan di dalam AL-Qur’an dapat menghapus dosa besar di lingkungan sekolah. Yakni intoleransi, kekerasan dan bullying. Dosa-dosa semacam ini jika terus dibiarkan mengakar, niscaya akan menjadi benih munculnya radikalisme di lingkungan sekolah.
Intoleransi sebagai dosa besar lembaga pendidikan selalu memaksa anak didik menjadi manusia yang eksklusif. Seperti pemaksaan menggunakan jilbab hingga pengajaran tepuk pramuka “no kafir”. Bahkan munculnya imbauan larangan memilih ketua kelas atau OSIS yang non-Islam.
Dosa besar demikian akan semakin menanam benih radikalisme secara perlahan di lingkungan sekolah. Karena telah menanamkan perilaku yang tak bisa mentolerir keragaman. Maka di sinilah ayat pendidikan memberi titik-terang dalam membersihkan perilaku intoleransi itu. Yakni “Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik” (Qs. An-Nahl:125).
Dalam konteks dakwah pendidikan, perilaku memaksa, diskriminatif (tak memakai hikmah) dan perilaku yang non-mauidatul hasanah (perilaku yang intolerant) sebagai sesuatu yang bertentangan dalam mendidik. Jadi, mengajarkan anak di sekolah itu harus dengan penuh hikmah yang ramah perbedaan dan dengan sebuah kebijaksanaan dalam melihat keragaman sebagai ketetapan-Nya yang harus dijaga dengan baik.
Seorang guru di sekolah adalah representasi dari penerus para Nabi dalam menyampaikan dakwah ilmu pengetahuan. Secara reflektif, ada satu ayat pendidikan yang menarik untuk kita pahami. Yakni “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Qs. Al-Anbiya’:10).
Status/peran/tujuan seorang pengajar jika merujuk pada ayat di atas harus menjunjung nilai rahmat. Secara reflektif, rahmat atas perbedaan sebagai sunnatullah itu juga harus dijunjung. Sebagaimana, peran sekolah/lembaga pendidikan harus memberi rasa aman, rasa keadilan, rasa kesetaraan dan tak ada perlakuan yang diskriminatif terhadap umat agama lain.
Dengan prinsip semacam itulah, niscaya dosa besar di lingkungan sekolah itu dapat dihapus dan tak melahirkan kemudharatan yakni tumbuhkan benih radikalisme. Seperti dalam satu ayat lagi, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (Qs. Al-Kahf:66).
Tak ada kebenaran ilmu yang membenarkan tindakan memukul apalagi bersikap intolerant terhadap siapa-pun. Ilmu yang benar pasti akan membawa petunjuk di dalam memanusiakan manusia lain. Paradigma mengajarkan ilmu yang benar inilah yang perlu diperbaiki agar menyinari kemanusiaan dan bisa ramah perbedaan, cinta keharmonisan dan menjaga kedaulatan bernegara ini.
Al-Qur’an tak pernah membenarkan perilaku membentak, kasar, menyakiti apalagi sampai melukai hati seseorang. Basis pendidikan semacam ini juga harus diaplikasikan di dalam menghapus dosa besar di lembaga pendidikan/sekolah. Seperti dalam sebuah ayat, “Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” (Qs. AL-Baqarah:3).
Mengajar adalah tentang tanggung-jawab moral bagaimana mendidik manusia ke jalan yang benar, dapat melahirkan rahmat, maslahat dan kebaikan. Secara metode, pengajaran dengan baik, member arahan yang benar dan menghindari tindakan kekerasan. Ini sebagai satu jalan bagaimana anak-anak di sekolah dapat pengetahuan yang menggembirakan dan menyenangkan.
Oleh sebab itulah, memperbaiki metode, sikap pengajaran dan perilaku yang intolerant dengan memegang prinsip ayat pendidikan di atas, niscaya dapat menghapus dosa-dosa besar di lingkungan sekolah itu. Sebab, intoleransi, kekerasan dan bullying jika terus dibiarkan mengakar, dia akan menjadi dosa berkelanjutan. Apa itu? yakni tumbuhnya benih radikalisme lewat dosa-dosa besar di lingkungan sekolah itu.