Di tengah ketegangan antarumat Islam akibat ikhtilaf mengenai hukum musik, yang diprakarsai oleh Wahabi dan menyasar Ustaz Adi Hidayat bahkan Muhammadiyah, beredar video yang menyejukkan dari ulama kenamaan tanah air, KH. Syukron Makmun. Dalam sebuah pidato, ia menyampaikan agar Wahabi datang ke pesantrennya dan diskusi bersama dengan adem—menghindari perpecahan umat yang tidak diinginkan.
Begini dawuhnya,
Wahai saudara-sudaraku dari kaum Wahabi. Persilakan perdengarkan pidato Syukron Makmun pada malam hari ini. Saya arahkan kepada perbedaan-perbedaan yang selalu dimunculkan, itu yang disebut masalah bid’ah. Mari kita duduk bersama.
Saudara-saudaraku yang saya cintai dari kaum Wahabi. Datanglah ke asrama Pondok Daarul Rahman, bawalah kitab Anda, bawalah hadis Anda, mari ketemu dengan Syukron Makmun. Kita makan nasi goreng bersama, kita minum kopi bersama. Mari kita berbicara dengan dalil-dalil yang masuk akal. Jangan dengan emosi. Dengan emosi itu tidak menghasilkan.
Kutipan pidato tersebut tentu sangat luar biasa. Ia tidak hanya merupakan wujud kemoderatan KH. Syukron sebagai ulama Aswaja, tetapi juga keberaniannya untuk adu argumen dengan kaum Wahabi yang telah meresahkan NKRI. Pada usianya yang sudah sangat sepuh, KH. Syukron yang dijuluki “Singa Podium” masih sangat siap meladeni Wahabi. Semua itu demi satu cita: menjaga akidah Ahlussunnah dan persatuan NKRI.
Kendati demikian, Wahabi tidak akan meresponsnya secara suportif atau sopan. Paling mentok mereka akan menyerang KH. Syukron dengan label pelaku bid’ah, kuburiyyun, kufur, bahkan label-label yang lebih menyakitkan lainnya. Tidak ada debat bagi Wahabi, karena bagi mereka kebenaran adalah miliknya dan yang lain sesat serta kafir. Namun, justru itulah yang menunjukkan ciutnya nyali Wahabi di hadapan sang pelestari Aswaja.
Sang Penjaga Ahlussunnah
Untuk diketahui, KH. Syukron adalah satu dari sedikit ulama Indonesia yang sepak terjangnya kompleks. Ia merupakan putra kiai berpengaruh di Madura yang mengenyam Pendidikan salaf dan modern sekaligus, yakni di Pesantren Sidogiri Pasuruan Pesantren Gontor Ponorogo. KH. Syukron pernah menjadi dosen, pernah juga berkarir di politik, dan saat ini mengasuh Pesantren Daarul Rahman, Depok, Jawa Barat.
Julukan “Singa Podium” sendiri didapat karena jam terbangnya yang tinggi dalam dakwah, yakni sejak nyantri di Gontor. Tahun 1960-an, dakwah KH. Syukron sudah menjelajahi Madiun, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Magetan, dan sekitarnya. Sebagai kiai Nahdliyin muda ketika itu, tentu dakwahnya tidak mudah. Ia tidak lepas dari golok untuk mengantisipasi perkelahian, karena ancaman orang-orang PKI datang setiap waktu.
Pada tahun 1967, ia berkelana ke Jakarta, mengaji kepada Habib Ali bin Husein di Bungur, juga kepada Habib Abdurrahman al-Habsyi di Kwitang. Bersamaan, KH. Syukron juga aktif berdakwah di kampus, masjid, dan majelis taklim di seantero DKI, sebelum akhirnya juga berdakwah ke berbagai daerah seperti Surabaya, Kalimantan, Jambi, Maluku, Sumatra, Aceh, bahkan Singapura, Malaysia, hingga Brunei.
Apa yang KH. Syukron dakwahkan? Jelas, akidah Ahlussunnah Waljama’ah. Ini dapat ditelisik melalui karya-karyanya, seperti buku Risalah Pemantapan Aswaja (1988), Riba dan Bank (1995), Apakah Bid’ah Itu? (2007), dan yang terkini Pembaharuan Dalam Agama. Dalam pidato dakwah maupun tulisannya, KH. Syukron konsisten untuk memasyarakatkan akidah Ahlussunnah dan melawan anasir penyimpangan akidah termasuk Wahabi.
Konsistensi KH. Syukron Makmun untuk melestarikan Aswaja di Indonesia tentu saja tidak hanya disertai spirit wasatiah Islam dan persatuan umat, tetapi juga kerukunan NKRI. Sebagai contoh, ketika Panji Gumilang pernah ditampar oleh KH. Syukron karena mengimami salat Subuh tanpa qunut. Dan yang terbaru, ajakan diskusi terhadap kaum Wahabi tentang masalah bid’ah juga merupakan bagian dari pelestarian Aswaja itu sendiri.
Persoalan bid’ah yang selalu diperdebatkan Wahabi telah tuntas dibahas KH. Syukron, baik dalam dakwah maupun karyanya. Jadi dai-dai Wahabi yang sedang gaduh itu bagi sang Singa Podium tidak lebih dari na’-kana’ bâri’ (bocah kemarin sore). Apa yang KH. Syukron lakukan untuk merespons Wahabi jelas bukan bentuk arogansi, namun—sekali lagi—sebagai wujud keteguhannya menjaga dan melestarikan Aswaja di NKRI.
Konter Wahabi di Indonesia
Ketika Sang Singa Podium KH. Syukron Makmun sudah turun tangan menanggapi Wahabi dan kegaduhan mereka yang meresahkan, itu artinya akidah Islam di Indonesia sedang berada dalam ancaman serius. Faktanya, Wahabi dengan kebiasaannya membid’ahkan dan mengkafirkan sesama tidak sekadar mengancam kerukunan antarumat, melainkan juga berpotensi memantik terorisme karena egoisme keberagamaan mereka.
Karena itu, KH. Syukron sebagai teladan bersama tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Jika ia di usianya yang sudah senja masih peduli dengan nasib Islam dan NKRI, apakah kita sebagai generasi muda akan abai? Tidak. Wahabi mesti disikapi secara serius tidak hanya oleh sang Singa Podium, melainkan oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Artinya, konter Wahabi adalah keniscayaan dan kewajiban.
Menariknya, KH. Syukron sama sekali tidak memakai istilah “Salafi” dalam pidatonya menanggapi Wahabi. Ia konsisten menggunakan istilah “Wahabi”, sebagai pukulan telak bahwa kamuflase Wahabi selama ini adalah tipuan kepada seluruh umat Islam. Manhaj salaf yang selalu Wahabi gemborkan sejatinya palsu, karena yang Wahabi sebarkan adalah manhaj khalaf dari ulama abad kedua puluh, yakni para dedengkot Wahabi.
Mari belajar kepada KH. Syukron Makmun untuk melestarikan Aswaja dari rongrongan Wahabi. Mari meneladani sang Singa Podium ihwal keteguhannya menjaga NKRI dari perpecahan akibat ulah pemecah-belah bangsa yakni—sekali lagi—Wahabi. Sebagaimana KH. Syukron Makmun yang tidak gentar menghadapi dai-dai Wahabi yang berkeliaran di seantero negeri, mari konter Wahabi demi Islam dan NKRI tercinta.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…