Sepijar Iman dalam Kebhinekaan

Sepijar Iman dalam Kebhinekaan

- in Narasi
126
0
Sepijar Iman dalam Kebhinekaan

Dalam tradisi kajian keislaman lazim dikenal adanya empat corak kajian, meskipun bagi sementara kalangan muslim sendiri ada yang tak mengakui keabsahannya, kajian syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Atas dasar kategorisasi corak kajian itu, tentu toleransi atas perbedaan agama yang selama ini dikenal akan mendapatkan gugatan dan barangkali juga perumusan yang jauh lebih gamblang.

Taruhlah orang-orang yang sudah menginjak pada bentuk kajian hakikat, jangankan terhadap perbedaan agama, bahkan pun—dalam satu agama yang sama—sikap atas corak kajian sekaligus tingkat pemahaman jugalah sebuah perkara khusus yang menuntut sikap yang seperti halnya menyikapi perbedaan agama.

Kisah-kisah tentang pertentangan antara kalangan syari’at-oriented dan kalangan hakikat dalam sepanjang sejarah peradaban Islam adalah bukti bahwa terkadang orang terlalu jauh untuk merumuskan dan menyikapi perbedaan agama, sementara perbedaan internal agama—yang bahkan sampai pembantaian bengis seperti yang dialami oleh al-Hallaj—terabaikan. Padahal, konon, pemahaman seperti yang dimiliki al-Hallaj itulah yang secara hakiki mampu menopang sikap toleran yang bahkan pun sampai pada tingkat antar-agama dan di luar agama.

Cukup menarik ketika orang mengulik karakteristik iman dari orang-orang sebagaimana al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan mungkin juga Siti Jenar di Nusantara, yang konon pernah sama-sama dihakimi oleh saudara sesama muslim sendiri dan bukannya oleh penganut-penganut agama lain.

Kisah klise hubungan antar-agama adalah bahwa iman akan dapat tergadaikan, atas nama perbedaan atau kebhinekaan agama. Taruhlah kasus yang baru-baru ini ramai, tentang fatwa MUI yang melarang penggunaan salam lintas agama yang konon memiliki konsekuensi keberimanan yang serius.

Namun, apakah para ulama yang tergabung dalam lembaga yang tanpa massa yang jelas itu, MUI, lupa pada kebhinekaan iman dalam agama yang mereka sandang sendiri, atau yang sedang mereka atas namakan itu?

Pada dasarnya sungguh tak penting menyikapi fatwa-fatwa sektarian semacam itu, toh dalam kenyataannya juga tak ada orang yang menggubrisnya. Namun, pada kasus semacam itu orang akan sampai pada tingkat apakah orang-orang seperti al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan bahkan Siti Jenar, yang secara etis kesemuanya memang turut membidani lahirnya konsep wahdatul adyan, berkurang kadar keimanannya pada Islam atau imannya tergadaikan? Seandainya tak tergadaikan, lantas iman semacam apa yang mereka pendam?

Dalam agama Islam terdapat istilah “warasatul anbiya’” yang konon tak bermakna tunggal. Konon pada tataran syari’at pewaris para nabi itu adalah anak keturunannya—yang sekarang lagi ramai digugat—, atau juga para ulama’. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang menyandang gelar sebagai para pewaris nabi itu adalah orang-orang yang sudah memiliki jenjang spiritual yang tinggi yang mana, sebagai misal, bahwa Nabi Muhammad bukanlah semata tokoh historis yang lahir, tumbuh, besar, dan berada di Arab.

Maka, orang bisa membayangkan, adakah pada tataran yang terakhir itu iman akan dapat tergadaikan meskipun mereka hidup di dunia yang memang sudah menjadi takdirnya untuk berbhineka?

Di sinilah, dalam riwayat para sufi, ada orang-orang yang memang sudah “almarhum” atau sudah bermakam dan baka dimana makamnya tak bertempat. Dengan demikian, secara hakiki, ketika orang memang benar dalam mendalami jalan agama, maka sikap toleran pada perbedaan keyakinan bukanlah sebuah kendala dalam masalah keberimanan. Ketika orang masih khawatir bahwa kadar keimanannya akan dapat berkurang atau tergadaikan imannya ketika menerima atau menyikapi perbedaan, maka dapat dipertanyakan sejauh mana sebenarnya mereka beragama.

Facebook Comments