Abu Hamid Al-Ghazali, seorang ulama besar dari abad ke-11, adalah salah satu tokoh pemikir Islam yang paling berpengaruh dalam sejarah. Pemikirannya mengenai hubungan antara ulama dan kekuasaan memberikan wawasan mendalam tentang peran intelektual Islam dalam politik dan pemerintahan. Dalam hal ini, Al-Ghazali percaya bahwa ulama memiliki peran penting dalam memberikan nasihat kepada penguasa demi menjaga kepentingan umat.
Dalam pandangannya, ulama bukan hanya sekadar penjaga hukum agama, tetapi juga pemandu moral dan etika bagi penguasa (umara), sehingga mereka dapat menjalankan kekuasaan dengan bijak. Dalam karya-karyanya, seperti “Ihya’ ‘Ulum al-Din”, Al-Ghazali menekankan atau bahkan menyarankan ulama untuk tidak menjauhkan diri dari kekuasaan.
Menurutnya, jika ulama atau ahli fiqih menghindari penguasa, maka penguasa akan dikelilingi oleh penasihat yang mungkin tidak memiliki integritas moral atau pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam. Hal ini bisa menyebabkan penguasa bertindak sewenang-wenang atau tidak adil, yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas. Dengan demikian, kehadiran ulama di sisi penguasa bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil selalu selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran dalam Islam.
Al-Ghazali memahami bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Ia berpendapat bahwa seorang penguasa yang baik harus mendengarkan nasihat ulama agar tidak tergelincir dalam kesalahan yang bisa menghancurkan rakyat dan negara. Dalam hal ini, ulama memiliki peran sebagai pembimbing moral, yang memberikan panduan dan nasihat berdasarkan hukum dan etika Islam. Al-Ghazali percaya bahwa ulama memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan, memastikan bahwa pemerintah tetap berorientasi pada kepentingan umat.
Pandangan Al-Ghazali tentang ulama dan kekuasaan tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis. Ia memahami kompleksitas politik dan pemerintahan, dan menyadari bahwa ahli fiqih juga harus memahami konteks politik agar bisa memberikan nasihat yang relevan dan efektif. Dalam pandangannya, seorang ulama yang memahami fiqih juga harus memahami dinamika politik sehingga mereka bisa memberikan nasihat yang tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi juga memperhitungkan situasi politik dan sosial yang ada sehingga nasihat-nasihatnya relevan.
Dalam praktiknya, Al-Ghazali juga memperlihatkan bagaimana ulama bisa berperan dalam pemerintahan melalui contoh-contoh sejarah. Ia merujuk pada masa keemasan Islam di mana ulama memainkan peran penting dalam pemerintahan dan membantu penguasa dalam mengambil keputusan penting. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kolaborasi ulama dan penguasa bisa menghasilkan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan umat.
Namun, Al-Ghazali juga tidak menutup mata terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh ulama. Ia mengingatkan bahwa ulama yang terlibat dalam politik harus tetap menjaga integritas mereka. Mereka harus selalu mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan demikian, ulama harus memiliki kesadaran yang tinggi tentang tanggung jawab mereka dalam memberikan nasihat kepada penguasa.
Syahdan, dari pandangan-pandangan Al-Ghazali ini dapat kita lihat, bahwa adalah tidak masalah seorang ulama berdekatan dengan kekuasaan asalkan dengan tujuan mulia, yakni untuk menasihati dan menjaga kekuasaan agar kekuasaan tetap berada di jalur yang semestinya, yakni membangun kesejahteraan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab, harus kita ingat sekali lagi, tugas ulama tidak hanya berperan sebagai penjaga hukum agama, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan etika bagi penguasa. Dengan demikian, ulama dapat memastikan bahwa kekuasaan selalu digunakan demi kebaikan umat. Sehingga penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi dilakukan penguasa dapat dicegah.