Pemahaman yang simbolis terhadap agama merupakan penyakit yang melanda tubuh umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Indonesia. Maraknya simbolisme agama mutakhir ini menimbulkan kekhawatiran yang serius, sebab mengancam tatanan kehidupan beragama yang selama ini rukun dan damai, termasuk mengancam persatuan dalam negara.
HTI salah satu contohnya. Sekalipun keberadaan organisasi ini resmi dilarang di Indonesia, namun gerakan mereka tetap berjalan dengan mengusung tema utama “khilafah”. Suatu aktifitas berlabel agama yang sangat mengerikan mengingat doktrin sentral yang disampaikan adalah selain pemerintahan khilafah thagut dan semua pihak yang terlibat dalam pemerintahan tersebut mereka sebut ansharut thagut.
Bagi umat Islam yang melek literasi keagamaan, propaganda HTI dan sejenisnya pasti dinilai suatu kesalahan yang sangat mendasar dalam memahami agama Islam. Islam dalam konteks bernegara tak pernah merekomendasikan satu sistem pemerintahan. Tegas kata, khilafah bukan satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam. Sebab pada kenyataannya, tidak ada satu dalil yang secara sharih atau tegas menyebutkan satu model pemerintahan baik dalam al Qur’an maupun hadits. Pada keduanya tidak ditemukan doktrin religius yang menentukan bentuk sistem pemerintahan tertentu.
Karenanya, pemahaman agama yang simbolis dan kaku seperti itu, seperti kampanye berjubah, memelihara jenggot, pakaian cingkrang, hingga pelabelan kafir terhadap yang lain telah menelikung umat Islam diseret pada persoalan mendasar kesalahan dalam memahami agama. Suatu pemahaman yang sangat tekstual yang mengarah pada ghuluw atau ekstrem.
Sebagai upaya menarik simpati umat Islam, di atas permukaan kelompok HTI dan kelompok sejenis, melaksanakan ritual keagamaan secara ketat, seperti shalat berjamaah. Melihat laku lahiriah tersebut siapapun pasti terkesima dan bersimpati. Sayangnya, di sebaliknya tersimpan pelanggaran terhadap aturan-aturan dasar dalam agama Islam berupa toleransi dan menghormati perbedaan. Mereka cenderung memvonis salah dan sesat terhadap orang atau kelompok yang berbeda pemahaman.
Kita tentu ingat kisah Ibnu Abbas saat menginsyafkan 2000 muslim radikal dari kelompok Khawarij. Kisah ini abadi, dicatat oleh Imam Thabrani, Hakim, Nasa’i dan Imam Baihaqi, sebagai alarm peringatan betapa sangat berbahaya formalisasi agama. Peristiwa yang bermula dari peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Sayyidina Ali dan Muawiyah. Sebanyak 6000 pengikut Sayyidina Ali membelot sebab menganggap Sayyidina Ali telah sesat karena menerima arbitrase tersebut. Beruntung, 2000 diantara mereka insyaf setelah didatangi oleh Ibnu Abbas dan memberikan pencerahan kepada mereka. Kelompok ini dikemudian hari disebut Khawarij.
Sehingga bisa dipahami, ketidaktahuan dan kedangkalan dalam memahami ajaran Islam menjadi sebab terperosoknya seseorang ke dalam kubangan lumpur kesesatan seperti kelompok Khawarij dalam kisah tadi.
Di era sekarang, banyak umat Islam yang mengalami nasib serupa seperti kelompok pembelot terhadap Sayyidina Ali atau kelompok Khawarij. Yakni, mereka yang terperdaya oleh gerakan seperti propaganda HTI dengan ide khilafahnya, kelompok Wahabi dan lain-lain. Tampilan lahirnya bagus, namun bobrok dalam literasi keagamaan. Akibatnya, ongkos mahal harus dibayar sebagai konsekuensi maraknya pemahaman tektualisme (al fahmu al harfy) seperti diusung HTI dan kawan-kawan.
Kelompok HTI dan sejenis menggunakan agama sebagai kendaraan untuk membuldoser pandangan keagamaan yang moderat. Akibatnya, perbedaan acapkali dipandang sebagai ancaman yang harus diakhiri dengan kekerasan. Pelabelan kafir, misalnya, terhadap kelompok yang berbeda berpotensi melahirkan kekerasan dan pertumpahan darah. Lebih ironis lagi, langkah semacam itu, menurut mereka berdasar pada doktrin-doktrin keagamaan yang otentik.
Menghidupkan Kembali Tradisi Intelektualisme Islam
Untuk menyelamatkan umat Islam dari jebakan maut doktrin sesat kelompok HTI dan sejenisnya tak lain adalah dengan semangat tradisi intelektualisme Islam perlu disemarakkan. Hal paling sederhana yang harus dipahami oleh umat Islam adalah tentang dasar-dasar sumber hukum Islam sehingga mampu beragama dengan akal sehat.
Para ulama telah bermufakat bahwa sumber hukum dalam Islam ada empat; al Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas (analogi). Masih tersisa enam sumber hukum Islam lagi, namun para ulama tidak bersepakat untuk dijadikan sumber hukum, ada yang memakai sementara yang lain tidak mengakui.
Sehingga jelas, bahwa hukum Islam tidak hanya didasarkan pada al Qur’an dan hadits saja. Kenapa demikian? Sebab keduanya berupa prinsip dasar yang membutuhkan pemikiran untuk melakukan istimbat hukum dari dua dalil primer tersebut. Alhasil, al Qur’an dan hadits akan gagal dipahami apabila tidak melibatkan unsur keilmuan yang lain seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ushul fikih, fikih dan seterusnya.
Sehingga butuh pembacaan yang panjang untuk memahami ajaran Islam secara purna. Namun, jalan yang panjang untuk memahami ajaran Islam menjadi semakin pendek karena bantuan para ulama yang menulis berbagai literatur keislaman untuk panduan memahami al Qur’an dan hadits berupa ragam ilmu yang sebelumnya telah disebut.
Membaca karya-karya ulama yang otoritasnya telah diakui akan membantu memahami ajaran Islam secara utuh, tidak sepotong-sepotong seperti kelompok HTI dan kawan-kawan yang sangat kaku dalam memahami agama. Suatu sikap yang akan membawa citra buruk, tidak hanya bagi yang bersangkutan namun terhadap agama Islam sendiri.
Model keberagamaan yang ideal bukan dengan menyalahkan kelompok lain yang memiliki hujjah, bukan pula menganggap khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam, dan seterusnya. Tetapi, umat Islam yang ideal adalah mereka yang menghargai setiap perbedaan yang ada, toleran, moderat, dan tidak akan pernah menuduh sesat selama ada dalil dari para ulama yang otoritasnya telah diakui. Dan, hal itu bisa terjadi hanya kalau umat Islam melek literasi keagamaan.
Jika daya intelektualisme Islam hidup kembali, paham radikalisme, doktrin ala HTI, Wahabi dan paham senada tidak akan memiliki ruang kebenaran dalam masyarakat muslim Indonesia. Mereka akan berhenti dengan sendirinya untuk mengekspresikan kehendaknya sebab belangnya telah diketahui. Kalau selama ini ada yang bersimpati itu karena faktor kelemahan intelektualisme Islam yang rendah.
Sebagai bukti, kelompok Nahdliyyin yang rata-rata belajar agama Islam di pesantren jarang, bahkan tidak ada yang terkontaminasi oleh propaganda HTI dan paham senada. Hal pula menjadi bukti bahwa tradisi intelektualisme Islam dominan mempengaruhi cara pandang dan amaliah keagamaan seseorang. Dengan kata lain, hanya mereka yang bobot pemahaman keagamaannya rendah bisa terpengaruh oleh propaganda HTI dan paham sejenis.