Strategi Islam Kalijagan dalam Gempuran Islam Transnasional

Strategi Islam Kalijagan dalam Gempuran Islam Transnasional

- in Keagamaan
123
0
Strategi Islam Kalijagan dalam Gempuran Islam Transnasional

Lamun sira paksa nelad

Tuladaning Kangjêng Nabi

O gèr kadohan panjangkah

Watêke tan bêtah kaki

Rèhne ta sira Jawi

Sathithik bae wus cukup

Aja guru alêman

Nelad kas ngêblêgi pêkih

Lamun pêngkuh pangangkah yêkti karamat

—Serat Wedhatama

Pada hari ini sungguhlah enak bagi para anak keturunan Sunan Kalijaga yang mengambil sang mantan brandal itu sebagai penanda gen—terlepas dari anak keturunan sang sunan yang mengambil jalur para isterinya untuk ingin nyambung ke kanjeng nabi. Dari beberapa kisah tentang sang sunan, ia memang tak berkehendak untuk mengembangkan Islam transnasional seperti halnya yang Islam yang berkiblat ke Arab ataupun Yaman.

Taruhlah dalam Serat Seh Malaya dimana sang sunan mengurungkan niatnya untuk melakukan ibadah haji ke Arab, sebuah aktifitas yang pasti dilakukan oleh para ulama di masa lalu sembari menuntut ilmu. Sang sunan terkesan sangat percaya bahwa bangsanya, Nusantara, sama sekali tak kalah dalam hal derajat, pangkat, semat, dan keramat, dengan bangsa Arab ataupun Yaman.

Ketika para anggota walisongo yang lain seolah perlu menyematkan gelar “sayyid” ataupun “syarief”—dan bahkan “habib” di masa kini yang tengah mengalami problematisasi—untuk menambah kesan lebih otoritatif dalam hal keislaman dan mengajarkan Islam, sang mantan brandal itu cukuplah mengambil Arya Wiraraja, seorang Hindu dan visioner kerajaan Majapahit di era Raden Wijaya (yang sudah merintis geopolitik “Nusantara” di era Kertanegara di Singasari), dan Ranggalawe, sang pemberontak yang Hindu, sebagai otoritas kebangsaannya atau kenusantaraannya.

Pilihan strategi sang mantan brandal terbukti lebih ampuh daripada strategi para anggota walisongo lainnya. Orang bisa melihat, dalam catatan sejarah mainstream, pilihan politik-kultural Kalijaga ternyata selalu menang (Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, De Graff, 1989). Dikursus tentang anak Adipati Wilwatikta itu selalu menghiasi empat periode kekuasan di Jawa: akhir Majapahit, Demak, Pajang, dan awal Mataram Islam. Bahkan, ia seperti diletakkan di sekitar pusat kekuasaan: Brawijaya V (toleransi pada pilihan sang raja untuk setia pada kepercayaan lamanya), Patah (nasehat untuk memperhitungkan jasa-jasa Brawijaya V yang non-muslim), Hadiwijaya (dukungan ketika berkonflik dengan Arya Penangsang), dan Panembahan Senapati (nasehat tentang pembangunan benteng keraton).

Tanpa mengurangi penghormatan pada Nabi Muhammad sebagai leluhur, sebagaimana yang terlihat ditempuh oleh para wali lainnya, Kalijaga lebih memilih leluhurnya sendiri yang nyata-nyata telah berjasa pada bangsanya, Nusantara, sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi bocornya alokasi keuntungan perkembangan Islam ke bangsa lain, misalnya, Arab ataupun Yaman. Dengan memilih leluhurnya sendiri otomatis keuntungan atas perkembangbiakkan Islam—kultural-politis-ekonomis—akan kembali ke bangsanya sendiri: Nusantara.

Dalam logika Kalijaga, bangsa Arab ataupun Yaman tentu tak mengenal Nusantara ataupun bangsa Nusantara, sebaik apapun atau sesetia apapun bangsa Nusantara pada mereka. Namun, kisah akan berbeda ketika Ranggalawe ataupun Arya Wiraraja yang ditautkan, meskipun mereka non-muslim, bangsa Nusantara jelas mengenalnya.

Seandainya secara paksa kau meneladani

Teladan Sang Nabi

O, terlalu jauh, Nak

Dasarnya tak akan kuat

Karena senyatanya kau Jawa

Sedikit saja sudah cukup

Jangan seperti guru alay

Meneladani kaum khos sesempurna fikih

Dengan tekad bulat pasti keramat.

Facebook Comments