Fikih Media Sosial: Proteksi Swa-Radikalisasi Generasi Z

Fikih Media Sosial: Proteksi Swa-Radikalisasi Generasi Z

- in Keagamaan
67
0
Fikih Media Sosial: Proteksi Swa-Radikalisasi Generasi Z

Beberapa hari lalu, tepatnya Rabu (31/7/2024) pemuda berumur 19 tahun terduga teroris berinisial H.O.K ditangkap tim Densus 88 Anti Teror. Ia berencana melakukan aksi bom bunuh diri di sejumlah tempat di kota Malang. Keesokan harinya, seorang terduga teroris juga ditangkap di Stasiun Solo Balapan. Belum selesai keterkejutan publik Indonesia oleh dua peristiwa tersebut, dua terduga teroris berinisial RJ dan AM ditangkap pada Selasa (6)8/2024).

Sebuah peristiwa yang sangat memilukan bagi bangsa ini. Lebih-lebih, diantara pelaku masih sangat belia, berumur 19 tahun atau disebut generasi Z. Lebih miris lagi aksi-aksi terorisme tersebut dominan berbasis ideologi agama. Terafiliasi dengan dengan organisasi yang menjadi agen terorisme seperti Jamaah Islamiyah dan ISIS.

Sebuah fakta memilukan. Generasi muda bangsa menjadi objek utama rekrutmen kelompok teroris. Memanfaatkan media sosial, kelompok teroris melakukan indoktrinasi yang tanpa sadar kemudian diimani oleh korban. Penggiringan opini kelompok radikal yang sangat samar dan terarah mampu mempengaruhi sekaligus mengelabui. Sehingga tidak sedikit dari pemuda yang mengalami apa yang disebut swa-sadikalisasi atau self-radicalization.

Sebagai dampaknya, tanpa instruktur atau penanganan langsung dari anggota kelompok radikal seseorang dengan sendirinya akan tergerak untuk melakukan aksi terorisme. Suatu fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Karenanya, radikalisasi online kelompok radikal tersebut harus diwaspadai.

Saat ini kelompok radikal secara massif menggunakan internet sebagai media menyebarkan informasi, diskusi, propaganda, hasutan, pelatihan, perencanaan, eksekusi, serangan siber, pengumpulan data hingga penggalangan dana. Kelompok pemuda yang mayoritas pengguna internet menjadi sasaran empuk indoktrinasi dan radikalisasi online, sebab kelompok yang disebut gen Z ini memiliki beberapa kelemahan yang menjadi pintu masuk penanaman paham radikalisme. Jiwa yang labil, kurang matang dalam berpikir, dan beberapa faktor lain kemudian dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk menarik mereka dalam lingkaran terorisme.

Pentingnya Pemahaman Fikih Bermedia Sosial Bagi Generasi Z

Kesalehan bermedia sosial kelompok generasi Z penting untuk selalu dijaga dan ditanamkan supaya informasi di media sosial tidak ditelan mentah-mentah begitu saja. Pelaku terorisme seperti H.O.K adalah korban informasi ajaran agama Islam yang dipelesetkan yang berkonsekuensi menimbulkan korban nyawa. Nalar dan cara berpikirnya sedang dipermainkan oleh narasi dalam informasi di media sosial yang menyesatkan.

Pada kondisi seperti itu, tak ada benteng pertahanan yang efektif selain kontrol dari orang tua supaya anak-anaknya memiliki kesalehan dalam bermedia sosial. Karakter kesalehan dalam bermedia sosial hanya akan terbentuk pada diri anak manakala kepada mereka diajarkan aturan Islam (fikih), bagaiman bermedia sosial yang baik.

Kurang bijak juga kita sebagai orang tua atau guru jiak melarang mereka untuk tidak aktif di media sosial. Bagaimanapun, teknologi adalah nikmat dari Tuhan. Ia baik kalau dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaliknya, teknologi seperti media sosial bisa menjadi buruk jika dijadikan alat untuk melakukan keburukan. Yang paling penting adalah menanamkan cara bermedia sosial yang baik, dan tentu dengan kontrol yang efektif.

“Semakin luas rezeki yang diberikan Allah, semakin besar peluang seseorang untuk melakukan penyimpangan”. (QS. al Syura [42]: 27)

Media sosial adalah salah satu rezeki Tuhan yang teramat besar diberikan kepada manusia di zaman mutakhir. Namun seperti disinggung oleh ayat di atas media sosial membuka peluang besar seseorang untuk melakukan penyimpangan. Khususnya anak-anak dan kalangan remaja, mereka sangat rentan terpengaruh oleh konten-konten negatif di media sosial.

Sebagai muslim, alternatif pencegahan timbulnya perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anak-anak dan kelompok remaja adalah memberikan pendidikan hukum Islam (fikih) tentang aturan main bermedia sosial. Karena basis pemahaman keagamaan yang kuat dan benar serta tahu terhadap sanksi melanggar hukum Islam menjadi daya kontrol efektif dalam membentuk karakter anak. Sehingga dalam bermedia sosial tetap mengedepankan akhlak, etika dan tidak melanggar norma-norma agama. Berikut ini aturan fikih dalam bermedia sosial.

Pertama, menjaga perkataan maupun tulisan. Abu Musa al Asy’ari pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, siapakah muslim terbaik?”. Beliau menjawab: “Muslim yang mampu menjaga orang lain dari ucapan dan perbuatannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kaidah fikih mengatakan: “Tulisan sama dengan perkataan”. Artinya, apa yang dilarang untuk diucapkan, dilarang juga diuraikan dalam bentuk tulisan. Sanksi (dosa) keduanya sama.

Imam Nawawi dalam kitabnya al Adzkar mengutip pendapat Imam Syafi’i, “Manakala seseorang hendak berbicara, pikirkanlah lebih dulu. Apabila ada kemaslahatan dalam perkataan perkataan tersebut, maka bicaralah. Jika ragu, lebih baik diam sampai ditemukan kemaslahatannya”.

Kedua, muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah). Disaat mencari informasi maupun ketika akan menyebarkan informasi, seperti menulis status dan konten, harus merasa diawasi oleh Allah. Dengan demikian, seseorang akan hati-hati ketika berselancar di internet maupun di media sosial.

Dalam al Qur’an dikatakan: “Jika kamu menampakkan sesuatu atau menyembunyikannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. al Ahzab: 54)

Tidak ada yang bisa lepas dari pengawasan Allah. Sekecil apapun perbuatan baik ada balasan berupa pahala, dan sekecil apapun pelaku penyimpangan pasti akan dibalas dengan siksa. Kalau hal ini ditanamkan sejak dini terhadap anak, dalam bermedia sosial akan terarah sesuai dengan dengan tuntutan hukum Islam. Dan, media sosial tidak akan membawa sial.

Ketiga, mentradisikan tabayyun (klarifikasi). Memberikan pemahaman kepada anak pentingnya tabayyun atau klarifikasi tentang informasi yang diperoleh dari media sosial. Klarifikasi kebenaran informasi tersebut. Kalau tidak mungkin untuk tabayyun kepada sumber berita, anak harus dibiasakan mengkonsultasikan kepada orang tua.

Tentang pentingnya tabayyun, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. al Hujurat: 6).

Keempat, tidak berkata dusta (qaul al Zur). Kedustaan atau kebohongan merupakan sifat yang sangat dibenci dan konsekuensinya sangatlah berat. Dalam media sosial, kedustaan bisa mengambil dua bentuk; membuat informasi yang tidak shahih atau meneruskan berita dari orang lain yang belum jelas shahih atau tidak.

Empat hal ini, menunjang kualitas kebaikan atau kesalehan anak dalam bermedia sosial. Anak akan lebih hati-hati sehingga mampu bersikap kritis, menyaring, menilai dan memutuskan apakah informasi yang ia dapat itu shahih atau tidak. Demikian pula, akan mampu menahan diri untuk tidak sembarang membagikan informasi.

Facebook Comments