September 2024 mungkin layak dikenang sebagai bulan cukup bersejarah tahun ini. Ya, Paus Fransiskus datang ke Indonesia. Ini semacam momen temu-kangen sejak terakhir kali, 35 tahun lalu, pimpinan agung umat Katholik mengunjungi negara mayoritas Muslim.
Kunjungan Sri Paus jelas bukan hanya soal lawatan keagamaan. Dalam sebuah rilis berita Reuters, selama mengunjungi beberapa negara di Asia Tenggara, Paus Fransiskus akan menularkan keprihatinannya tentang perubahan iklim dan bagaimana umat beragama harus bisa menjadi garda depan dalam menjawab tantangan ini.
Tidak sedikit riset yang menyebut salah satu investor paling penting dalam mempercepat perubahan iklim adalah perang. Dan, perang apalagi yang paling mudah disulut kecuali perang atas nama agama atau ideologi? Rasanya nyaris tidak ada.
Maka, kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia semestinya bisa menjadi momen reflektif bagaimana sejarah panjang relasi antara Islam-Kristen di Indonesia itu terbentur (kolonialisme), terbentur (politik kekuasaan), dan kemudian terbentuk dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.
Sebuah Perjumpaan Bersejarah
Sejarah panjang relasi Islam-Kristen di Indonesia memberikan kita banyak pelajaran berharga. Salah satunya adalah agama, sejak era kolonial, sering kali menjadi alat bagi kepentingan politik kekuasaan. Walau demikian, agama rupanya juga dapat menjadi jembatan untuk persatuan.
Islam, menurut catatan sejarah populer, mulai menyebar di Nusantara pada abad ke-13, namun interaksi signifikan dengan Kristen dimulai pada abad ke-16 ketika Portugis tiba di Maluku dan mulai menyebarkan ajaran misionarisnya.
Perjumpaan awal ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Dalam buku A History of Modern Indonesia since c.1200, sejarawan Ricklefs (2001) mencatat kedua agama ini terlibat dalam dinamika yang kompleks. Bahkan dinamika relasional keduanya sering kali dibumbui oleh kepentingan politik kolonial yang berusaha mempertahankan kekuasaan melalui pemecahbelahan masyarakat.
Kolonialisme tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi juga strategi divide et impera yang memperparah ketegangan antar-umat beragama (Vickers, A, 2005). Momen ini menorehkan luka dalam sejarah relasi Islam-Kristen di Indonesia, yang dalam kadar tertentu masih terasa dampaknya hingga kini.
Kendatipun begitu, penting untuk dicatat bahwa meski terjadi konflik, ada banyak momen di mana kedua agama ini menunjukkan sikap saling menghormati dan hidup berdampingan. Bahkan di tengah cengkraman penjajahan, muncul kesadaran di kalangan kaum Muslim dan Kristen tentang perlunya solidaritas untuk melawan penindasan.
Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka di tahun 1945, relasi antara Islam dan Kristen bukan berarti tanpa tantangan. Salah satu isu utama saat itu adalah polemik dasar negara. Kelompok Islam menginginkan penerapan negara berdasarkan syariat, sementara kelompok nasionalis dan Kristen merasa keberatan karena Indonesia bukan hanya berisikan umat Nabi Muhammad. Perdebatan ini lalu menimbulkan ketegangan, dengan sebuah kulminasi untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang mengakomodasi semua agama dan keyakinan.
Residu perdebatan para founding-person tentang penghapusan frasa syariat Islam dalam Pancasila ternyata masih bersisa. Hingga sekarang, tuntuan untuk menegakkan syariat Islam dalam hukum positif Indonesia masih cukup lantang menguar di ruang media.
Orang mungkin bisa berdebat tentang apa dan bagaimana syariat Islam dipahami. Masalahnya adalah frasa syariat Islam kerap menjadi tafsir tunggal yang dipaksakan oleh segelintir kelompok ekstremis, sehingga makin mempertajam kesalahpahaman dan konflik sektarian, baik intra umat beragama, maupun antar-umat beragama.
Dengan demikian, ibrah paling penting dari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia saat ini adalah momentum untuk melakukan permenungan sejarah relasi Islam-Kristen, apalagi di tengah situasi dunia yang kian kompleks. Ancaman ekstremisme dan terorisme yang mencoba memecah belah umat beragama harusnya mampu dianulir dengan pesan persatuan: bahwa berbeda itu tidak apa-apa.
Di media sosial, simpati publik menunjukkan sambutan positif, walaupun mereka bukan umat Katholik. Tidak sedikit umat Muslim yang terang-terangan mendaklarasikan rasa bahagianya atas kedatangan Paus Fransiskus. Selain karena aspek kesederhanaanya, orang juga antusias dengan kunjungan tokoh yang sangat mengedepankan dialog antarumat beragama dan pesan persaudaraan.
Kedatangan Paus Fransiskus juga mengembalikan memori kita tentang kenyataan bahwa perbedaan iman dan keyakinan tidak seharusnya menjadi penghalang untuk bersatu dalam kebaikan. Indonesia, dengan keragaman agamanya, adalah contoh nyata bagaimana perbedaan dapat menjadi kekuatan adiluhung jika dikelola dengan baik dan konstruktif.