Fanatisme agama kini menjadi tantangan global yang signifikan, terutama dengan kemajuan pesat teknologi dan konektivitas antarnegara. Melalui media sosial dan internet, penyebaran ideologi ekstrem menjadi lebih mudah dan cepat, memungkinkan kelompok fanatik menjangkau audiens yang lebih luas. Sementara globalisasi dan mobilitas manusia meningkatkan interaksi lintas budaya dan agama, hal ini juga memperbesar risiko konflik ketika ideologi ekstrem berpotensi mengancam stabilitas sosial.
Para ahli psikologi mendefinisikan fanatisme sebagai usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara yang ekstrem dan penuh gairah, yang melampaui batas kewajaran (Solehah, 2014). Fanatisme adalah keyakinan atau pandangan yang tidak didasari oleh teori atau kenyataan, namun tetap dianut secara mendalam, sehingga sulit untuk diubah atau diluruskan.
Fanatisme agama mengacu pada sikap seseorang yang memegang teguh ajaran agamanya hingga taraf yang berlebihan. Dalam banyak kasus, hal ini memicu konflik dalam masyarakat, terutama ketika pandangan tersebut menganggap orang dengan keyakinan berbeda sebagai ancaman.
Fanatisme agama sering kali diperkuat oleh kelompok radikal yang menyebarkan ideologi ekstrem melalui internet. Akibatnya, masyarakat menjadi cemas dan mudah terpengaruh oleh kelompok-kelompok ini.
Fanatisme berakar dari keyakinan yang terkunci dalam pikiran seseorang, membuatnya sulit menerima kritik atau sudut pandang lain. Sikap fanatik melahirkan sikap intoleransi, di mana orang-orang yang terlalu fanatik terhadap ajaran agama sering kali bertindak seolah-olah mereka berlandaskan pada nilai-nilai agama. Namun, pada kenyataannya, tindakan-tindakan mereka sering kali bertentangan dengan ajaran damai yang sesungguhnya diusung oleh agama.
Munculnya fanatisme negatif memicu konflik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, seperti tindakan perundungan (bullying) yang sering kali mengatasnamakan kebenaran agama. Ketika fanatisme mencapai puncaknya, seseorang bisa bertindak membahayakan orang lain atas nama agama. Padahal, agama seharusnya mengajarkan perdamaian, kasih sayang, dan harmoni antar sesama.
Sikap fanatisme berlebihan sering kali muncul karena pemahaman yang kurang mendalam tentang hakikat agama. Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa kelompok yang fokus pada isu fanatisme, banyak orang yang baru belajar agama merasa bahwa mereka berada dalam masa pencerahan yang luar biasa.
Mereka terdorong untuk menyebarkan ajaran yang telah dipelajari tanpa memfilter atau meninjau ulang pemahaman mereka dengan baik. Bahkan, tidak jarang mereka yang belajar agama secara sepihak langsung menganggap diri mereka sebagai yang paling benar, dan berusaha membenarkan pandangan tersebut dengan cara yang salah.
Ada pula orang-orang yang menerima ajaran agama secara mentah-mentah tanpa memeriksa validitasnya atau mencari pendapat lain. Mereka mungkin terlalu mengidolakan guru agama tertentu, sehingga tidak menyadari bahwa mereka mengabaikan konteks ajaran tersebut. Dalam banyak kasus, mereka belum memahami secara penuh tentang kapan dan dalam konteks apa ayat atau hadis diturunkan, serta bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Islam memiliki berbagai mazhab, yang mencerminkan keberagaman pemahaman dalam agama tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sekarang lebih kompleks dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu sudut pandang. Sikap fanatik terhadap satu mazhab atau ajaran tertentu tanpa mempertimbangkan pandangan lain justru menciptakan ketegangan yang berbahaya.
Untuk mencegah berulangnya fanatisme yang merusak, masyarakat harus membuka pikiran seluas-luasnya dan mengembangkan sikap tasamuh (toleransi). Kita hidup dalam masyarakat yang heterogen, di mana setiap orang memiliki pendapat dan pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk saling menghormati perbedaan dan tidak merasa diri sendiri yang paling benar. Mengajarkan agama sejak dini dengan pendekatan yang inklusif dapat mengurangi risiko munculnya fanatisme berlebihan.
Mengatasi fanatisme agama memerlukan pendekatan komprehensif dan kolaboratif. Pendidikan yang inklusif yang mulai ditanamkan sejak dini adalah kunci utama dalam mencegah dan mengatasi fanatisme. Dengan menerapkan pendidikan yang mengajarkan toleransi dan pemahaman lintas agama, anak-anak diajarkan untuk menghormati perbedaan dan melihat keberagaman sebagai sesuatu yang positif. Kurikulum yang mencakup materi tentang keragaman budaya dan agama serta mendorong dialog antaragama akan membentuk sikap terbuka dan kritis, sehingga individu tidak mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem.
Fanatisme agama bukan hanya tantangan individual, tetapi juga masalah yang memerlukan kerja sama lintas sektor untuk mengatasinya. Dengan pendidikan yang inklusif, pemberdayaan ekonomi, dan dialog antaragama, potensi fanatisme dapat ditekan, sehingga tercipta masyarakat yang lebih harmonis dan toleran.