Relasi Islam dan Non-Muslim dalam Selebrasi Bulan Ramadhan

Relasi Islam dan Non-Muslim dalam Selebrasi Bulan Ramadhan

- in Narasi
38
0

Rasanya tidak ada hari raya seramai Idulfitri di Indonesia. Di Indonesia, Idulfitri bukan hanya dirayakan sebagai momen spiritual tetapi juga kultural. Hal ini dibuktikan dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas bahwa 78,5 persen responden mengungkapkan, perayaan Lebaran adalah tradisi untuk semua masyarakat tanpa memandang latar belakang status agamanya.

Relasi antara umat Islam dan non-Islam dalam selebrasi bulan Ramadhan di Indonesia menawarkan gambaran yang begitu kaya akan toleransi dan harmoni, sesuatu yang jarang terlihat di banyak tempat di dunia. Ketika bulan suci Ramadhan tiba, masyarakat Indonesia—yang sebagian besar beragama Islam—memulai bulan penuh ibadah dengan suasana khusyuk dan spiritual. Namun, yang membuat Ramadhan di Indonesia istimewa bukan hanya ritual keagamaannya, melainkan juga bagaimana masyarakat dari berbagai agama berpartisipasi secara damai, tanpa kehilangan identitas mereka masing-masing.

Keterlibatan umat non-Muslim dalam tradisi Ramadhan, seperti berburu takjil, menjadi contoh konkret bagaimana keragaman agama bisa menciptakan kebersamaan yang penuh makna.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, suasana Ramadhan terasa di setiap sudut. Jalan-jalan ramai dengan orang-orang yang mempersiapkan buka puasa, pasar-pasar menjual makanan khas berbuka, dan masjid-masjid mulai bersiap untuk ibadah Tarawih.

Dalam suasana ini, relasi antara umat Islam dan non-Muslim terjalin dalam tindakan-tindakan kecil namun bermakna. Sebagai contoh, banyak restoran milik orang non-Muslim menyesuaikan jam operasional mereka selama bulan Ramadhan, menunjukkan rasa hormat terhadap umat Muslim yang sedang berpuasa. Bukan hal yang asing jika warung-warung makan memasang tirai penutup selama siang hari, sebuah isyarat penghargaan terhadap mereka yang berpuasa, meskipun pemiliknya sendiri tidak menjalankan ibadah tersebut.

“Agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan”, ucap Pdt. Marcel Saerang dalam khotbahnya yang diposting oleh akun YouTube Griya Karya. Sontak, gelak tawa para jamaah yang hadir pun pecah.

Potongan kalimat tersebut dapat ditemukan di kanal YouTube berjudul; “Belajar Dari Kesalahan Raja Saul”, khotbah disampaikan oleh Pdt. Marcel Saerang di Gereja Tiberias Indonesia, bertarikh 17 Maret 2024, yang kini potongan videonya direpost oleh berbagai akun instagram, sebut saja akun @arenafakta dan @pstore_denpasar, dibubuhi judul “Diam Membaca Injil, Bergerak Memburu Takjil”, serta berbagai video berita yang kini beredar di YouTube.

Humor Pdt. Marcel dalam khotbahnya paling tidak menjadi setitik harapan bagaimana bangsa ini merawat kebersamaan dan persatuannya dalam perbedaan dan juga konflik yang ditimbulkan oleh segelintir orang yang berpikiran dangkal. Retorika sang pendeta membawa suasana khotbah di hadapan pengikut Kristus juga bernuansa tradisi Ramadan.

Pesan persatuan dalam humor Pdt. Marcel begitu kuat sejatinya ketika bisa dimaknai tatkala sang pendeta memahami bagaimana konteks Indonesia yang terbiasa hidup berdampingan dan saling berbagi, identitas kuat bagi bangsa Indonesia.

Khotbah Pdt. Marcel menandaskan bagaimana Ramadan bisa dinikmati semua kalangan, lintas keyakinan atau agama. Meski konflik berbau agama kerap kali diprovokasi oleh segelintir orang berpikiran sempit, mendengar seloroh Pdt. Marcel menyiratkan bahwa saatnya era kebencian diakhiri berganti abad bagaimana kebersamaan dirayakan dan persaudaraan sejati diciptakan.

Ilustrasi lain yang memperkuat relasi harmonis ini adalah dalam berbagai kegiatan amal yang marak selama bulan Ramadhan. Di banyak kota, umat Muslim sering mengadakan pembagian takjil (makanan berbuka puasa) di pinggir jalan. Dalam beberapa kasus, komunitas non-Muslim ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, entah sebagai penyumbang atau bahkan sebagai sukarelawan.

Mereka membantu menyiapkan makanan dan minuman, meskipun mereka tidak ikut berbuka puasa. Pemandangan ini sering menjadi sorotan, bagaimana dua komunitas yang berbeda keyakinan saling bekerja sama untuk melayani masyarakat yang membutuhkan. Ini adalah bentuk empati yang nyata, di mana keagamaan menjadi penggerak solidaritas sosial yang melintasi batas agama.

Di daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya sangat plural seperti Manado, Papua, atau Nusa Tenggara Timur, umat Islam hidup berdampingan dengan mayoritas Kristen. Ketika Ramadhan tiba, ada rasa saling menghormati yang begitu terasa. Orang-orang Kristen di sekitar tidak merasa terpaksa untuk mengubah gaya hidup mereka, tetapi mereka tetap menaruh rasa hormat terhadap ibadah yang dijalankan umat Muslim.

Di sini, toleransi terwujud dalam bentuk yang sangat alami, bukan karena tekanan atau aturan formal, tetapi melalui interaksi sehari-hari yang penuh pengertian. Tidak jarang terdengar cerita tentang tetangga Kristen yang membantu memasak hidangan untuk sahur bagi tetangga Muslimnya, atau sebaliknya, umat Islam yang ikut merayakan hari raya keagamaan umat Kristen dengan membawa hidangan khas daerah sebagai tanda persaudaraan.

Tentu, ada juga tantangan dan gesekan kecil yang muncul, seperti isu intoleransi yang sesekali muncul di beberapa daerah. Namun, skala dan dampak dari gesekan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerukunan yang tercipta secara keseluruhan. Pada level masyarakat umum, relasi Islam dan non-Islam selama bulan Ramadhan lebih didominasi oleh rasa saling menghormati dan memahami. Masyarakat Indonesia, dengan segala keragamannya, terbukti mampu menjalani bulan penuh makna ini tanpa kehilangan esensi toleransi yang sangat dihargai.

Toleransi bukan hanya konsep teoretis yang diulang-ulang dalam wacana akademis, melainkan sesuatu yang nyata dan hidup di tengah masyarakat. Di sini, Ramadhan tidak hanya dirayakan sebagai momen keagamaan umat Islam, tetapi juga sebagai waktu di mana berbagai komunitas agama saling berbagi ruang, empati, dan kasih sayang.

Relasi ini membuktikan bahwa kehidupan yang damai dan penuh pengertian antaragama bukanlah sesuatu yang utopis. Indonesia telah menunjukkannya setiap tahun selama Ramadhan, bahwa agama bisa menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan tembok yang memisahkan.

Pesan penting lainnya adalah bahwa kebersamaan lintas agama tidak perlu dipaksakan, namun terjadi secara alami dalam kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa toleransi di Indonesia bukanlah sekadar konsep normatif, tetapi sesuatu yang benar-benar hidup di tengah masyarakat. Apa yang dilakukan oleh masyarakat non-Muslim yang turut berpartisipasi dalam perayaan Ramadhan menjadi contoh harmonisasi yang layak dicontoh oleh dunia internasional.

Bukan hanya soal puasa dan ibadah, tetapi bagaimana setiap orang, terlepas dari keyakinannya, bisa menjadi bagian dari satu masyarakat yang saling menghormati dan mendukung. Indonesia, dengan segala kekayaan budaya dan agamanya, telah menunjukkan bahwa perbedaan adalah anugerah yang memperkaya, bukan ancaman yang harus dihindari.

Facebook Comments